Tanggal 21 April di peringati sebagai hari Kartini. Beragam kegiatan dilakukan sebagai bentuk peringatan. Diantaranya mulai dari memasang, spanduk di berbagai instansi, hingga menganjurkan anak-anak sekolah (perempuan) berkebaya dan bersolek layaknya orang perempuan dewasa. Lomba baca puisi dan pembacaan surat surat Kartini juga dilakukan untuk memperingati kiprah pejuang emansipasi itu.
Namun, penokohan Kartini sebagai pahlawan emansipasi banyak mengundang kontroversi. Sebab, Kartini tidak melakukan perjuangan sebagaimana yang gaung-gaungkan. Kartini hanya menyampaikan kegalauannya melalui surat-surat yang ditujukan kepada teman-temannya di Belanda.
Pemikiran Kartini pentingnya persamaan hak, pendididikan bagi kaum pribumi terutama perempuan banyak dipengaruhi oleh pemikiran kolonial dan teman-temannya. Bahkan, gagasannya juga dipengaruhi karya-karya sastrawan belanda, seperti De Stille Kracht, Agusta De Wit, dan lain lain. Kartini juga terlalu mengagungkan peradaban ‘modern Eropa,
Namun, gagasan Kartini yang mengagungkan persamaan hak dan modernisme eropa itu akhirnya luntur. Perubahan pemikirannya itu tampak melalui surat yang ditujukan kepada teman-teman feminisnya di Belanda. Kartini menyampaikan, bahwa ia tengah menemukan kebahagiaannya dalam keluarga, meskipun ia berstatus istri ke 4 bupati Rembang. Kartini hanya sempat menginisasi berdirinya sekolah Kartini school dirumahnya sebelum ia meninggal di usia 25 tahun.
Skenario memunculkan Kartini sebagai pejuang emansipasi dilakukan pemerintah kolonial setelah Kartini meninggal. Caranya, dengan menerbitkan korespondensi Kartini dengen teman-temannya di Belanda,
Surat-surat Kartini dikumpulkan dan dibitkan dalam bentuk buku berjudul Door Duisternis Tot Licht atau secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”, di tahun 19011. Pengumpulan dan penerbitan buku ini dilakukan oleh J.H. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
Namun, Door Duisternis Tot Licht tidak memuat surat surat Kartini secara utuh. Hanya gagasan persamaan hak, dan pengagungan kartini akan peradaban barat yang di muat dalam buku tersebut. Buku inilah yang menjadi pintu masuk feminisme Barat.
Tidak heran jika Dr. Th Steven, dalam bukunya Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 mengatakan, bahwa, kegelisahan kartini yang disampaikan melalui korespondensi dengen teman-temanya di Belanda tentang persamaan hak dan pendidikan keberhasilan gagasan gerakan mason dan politik etis yang sedang dilakukan pemerintah kolonial.
Puncaknya, penokohan Kartini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Ir. Soekarno. Pada tangal 2 Mei 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres No. 108 tahun 1964 tentang penetapan RA. Kartini sebagai Pahlawan Nasional.
Sebenarnya, masih banyak sosok perempuan di Nusantara yang pantas menjadi ikon perempuan,di bidang perjuangan militer, pelopor pendidikan, dunia jurnalistik, bahkan pemerintahan.
Lantas, mengapa Belanda menokohkan Kartini?
Bagaimana Pemikiran Kartini di Akhir Hayatnya ?
Lantas Benarkah Kartini lebih dekat dengan Islam ?
Apakah “Surat Kartini” Sengaja Dimanfaatkan Kolonial Belanda ?
Simak Analisis Dr Tiar Anwar Bachtiar