(IslamToday ID) – Pandemi virus corona yang menerpa dunia menciptakan krisis ekonomi yang parah, bahkan lebih parah dari krisis ekonomi tahun 1998. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva.
“Tidak pernah dalam sejarah kita menyaksikan ekonomi dunia terhenti,” katanya pada konferensi pers di kantor pusat WHO di Jenewa, Swiss, Jumat (3/4/2020).
“Ini adalah masa paling gelap umat manusia. Ancaman besar bagi seluruh dunia dan itu mengharuskan kita untuk berdiri tegak, bersatu dan melindungi warga negara kita yang paling rentan,” tambahnya.
Untuk itu, Georgieva mengungkapkan, IMF bekerja sama dengan Bank Dunia (World Bank) dan lembaga keuangan internasional lainnya untuk mengurangi dampak ekonomi yang ditimbulkan wabah tersebut.
Georgieva juga mengatakan IMF telah mendorong bank sentral di negara maju untuk mendukung negara-negara berkembang.
“Perhatian utama kami dalam krisis ini adalah untuk meningkatkan pembiayaan dengan cepat untuk berbagai negara, terutama pasar negara berkembang. Negara-negara berkembang yang dihadapkan dengan kebutuhan yang sangat signifikan dan terus meningkat,” kata Georgieva.
Ia juga menegaskan bahwa IMF saat ini memiliki paket pinjaman senilai 1 triliun dolar AS dan akan mengucurkan sebanyak mungkin dana bantuan kepada negara-negara yang membutuhkan. Ia menyebut sudah ada lebih dari 90 negara sejauh ini yang telah meminta bantuan dari dana itu.
“Kami belum pernah melihat permintaan yang semakin meningkat untuk pembiayaan darurat,” kata Georgieva. Ia pun mendesak agar negara-negara yang mendapatkan pinjaman untuk memanfaatkan pembiayaan itu untuk membayar dokter, perawat dan petugas kesehatan, serta untuk memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan lainnya.
Lebih lanjut, Georgieva menjelaskan, alasan IMF memfokuskan dana ke negara berkembang adalah karena ekonomi mereka paling terpukul oleh wabah. Juga karena kebanyakan dari negara-negara ini memiliki lebih sedikit sumber daya untuk melindungi diri dari kejatuhan ekonomi.
Apalagi selama wabah merebak banyak investor menarik uang mereka dari negara-negara yang rentan tersebut. Ia menyebut selama wabah sudah ada hampir 90 miliar dolar AS investasi yang mengalir keluar dari negara-negara berkembang.
“Ini jauh lebih banyak daripada selama krisis keuangan global, dan beberapa negara sangat bergantung pada ekspor komoditas. Saat harga jatuh, mereka makin terpukul,” katanya.
“Sama seperti ketika virus menyerang orang-orang rentan yang memiliki prasyarat medis yang paling memprihatinkan, krisis ekonomi paling keras menghantam ekonomi yang rentan,” tambahnya.
Namun begitu, ia meyakini bahwa dunia akan bisa melalui semua ini asalkan ada kerja sama dari berbagai negara. “Pesan penutup saya adalah kita akan melewati ini, tetapi seberapa cepat dan seberapa efektif akan sangat tergantung pada tindakan yang kita ambil,” ujarnya.
Kehilangan Pekerjaan
Wabah virus corona telah membuat banyak orang jatuh sakit dan meninggal di seluruh negara. Kebijakan pemerintah di dunia membatasi untuk melakukan isolasi dan membatasi ruang gerak, membuat mata rantai ekonomi dunia mengalami gangguan.
Parahnya, dampaknya tidak hanya sampai di situ. Terganggunya aktivitas ekonomi tersebut membuat kinerja banyak perusahaan di dunia tersendat. Akibatnya banyak juga orang yang kini telah kehilangan pekerjaan.
Bahkan menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), akan ada 25 juta PHK yang terjadi di seluruh dunia jika wabah tak juga tertangani. Kekacauan itu sendiri telah mulai terlihat jelas saat ini di Amerika Serikat (AS) hingga Austria.
“Kami melihat tingkat pengangguran di AS dan Eropa naik hingga ke kalangan remaja,” kata Peter Hooper, Kepala Penelitian Ekonomi Global di Deutsche Bank AG, sebagaimana dilaporkan Bloomberg.
“Mengingat rasa sakit yang kita lihat dalam waktu dekat di AS dan Eropa, ini belum pernah terjadi sebelumnya sejak depresi hebat (Great Depression), dalam hal besarnya,” tambahnya.
Sementara itu, menurut para ekonom di JPMorgan Chase & Co, angka pengangguran di pasar negara maju akan melonjak 2,7 poin pada pertengahan tahun ini. Angka itu naik dari sekitar titik terendah dalam empat dekade yang tercatat di awal tahun ini.
Bahkan meski saat ekonomi mengalami pemulihan, mereka masih memprediksi akan ada peningkatan angka pengangguran 4,6 persen di AS dan 8,3 persen di zona Euro pada akhir 2021.
Lebih lanjut, para ekonom mengatakan bahwa angka pengangguran di AS akan jauh lebih tinggi ketimbang negara-negara di zona Euro atau Jepang akibat adanya perbedaan budaya, di mana AS lebih fleksibel.
Ini sudah terbukti dari laporan tenaga kerja AS yang dirilis pada Jumat (3/4/2020). Data itu menunjukkan angka pembayaran upah (payrolls) AS turun lebih dari 700.000. Angka ini tujuh kali lebih banyak dari yang diperkirakan para ekonom.
Parahnya, angka-angka itu baru mencakup awal kekacauan di pasar tenaga kerja pada awal Maret, belum memuat data setelah putaran PHK dan penutupan terbesar terjadi. Misalnya saja data jumlah orang Amerika yang mengajukan tunjangan pengangguran pada minggu lalu, di mana angkanya naik mencapai rekor 6,65 juta orang. Jumlah ini lebih dari dua kali rekor yang tercatat pada minggu sebelumnya.
Jika angka dua minggu terakhir digabungkan, maka total orang Amerika yang mengajukan tunjangan pengangguran mencapai 9,96 juta. Ini setara dengan total angka dalam 6,5 bulan pertama saat resesi 2007-2009 terjadi. (wip)
Sumber: CNBCIndonesia.com, Detik.com