(IslamToday ID) – Sejumlah negara rival AS di kawasan mulai menanggapi terjadinya kekacauan di Amerika Serikat (AS). Pada Senin (1/6/2020), media Iran menyuguhkan laporan-laporan “keruntuhan” AS sambil mengutip sumber-sumber dari Rusia.
AS menjadi negara paling kuat di dunia, negara adikuasa hegemonik global setelah Uni Soviet dan negara-negara lainnya yang telah luluh lantak pada tahun 1989. Namun, Rusia, China, Iran, dan Turki tengah menunggu periode ketika dunia menjadi banyak kekuatan. Mereka berusaha untuk bekerja sama lebih erat dan sering duduk bersama di forum global yang tidak dihadiri AS.
Untuk mengoordinasikan upaya melawan AS, negara-negara ini memiliki media pemerintah yang didanai dengan baik, seperti RT, TRT, Tasnim and Fars News Iran, dan sejumlah media China. Kebijakan negara-negara ini perlahan menentang AS dan menunggu saat-saat lemahnya untuk memuluskan agenda mereka.
Kepemimpinan di Turki dan Iran melemahkan AS melalui kacamata yang lebih religius, seperti dengan Korps Pengawal Revolusi Islam dan Ikhwanul Muslimin yang masing-masing mempengaruhi Teheran dan Ankara.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan berusaha memanfaatkan kerusuhan di AS dengan menyebut bahwa AS adalah bagian dari tatanan yang tidak adil di dunia.
Mantan Presiden Iran membuat komentar serupa tentang superpower AS yang menurun. Ini adalah konsep “poros perlawanan” di Iran dan kekalahan “arogansi” AS.
Sejak Revolusi Islam di Iran tahun 1979, telah ada seruan untuk mengambil jalan ketiga antara AS dan Uni Soviet pada 1980-an yang akan membawa kekalahan sistem Barat dan kebangkitan Islam politik yang berakar di Teheran dan kemudian di Ankara.
Ankara adalah sekutu utama AS, tetapi telah menandatangani kesepakatan untuk memperoleh sistem pertahanan anti-rudal S-400 Rusia. AS berupaya memecah belah Suriah dengan Iran dan Rusia. Turki dan Iran berkoordinasi dalam upaya melawan Israel dan keduanya mendukung Hamas. Mereka secara luas bekerja sama melawan mitra AS lainnya, seperti Arab Saudi, Bahrain, UEA, dan Mesir.
Sekarang protes di AS dan krisis Covid-19 telah melemahkan Washington dengan cepat. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan AS sekarang harus berurusan dengan kesalahan polisi. “Puji Tuhan, hal-hal yang terjadi di Amerika tidak terjadi di Rusia,” katanya dikutip di TASS Rusia.
Aleksey Pushkov, seorang senator di parlemen Rusia dan seorang ahli kebijakan luar negeri, berpendapat di Twitter bahwa AS mengalami keruntuhan. Menurutnya, penarikan pasukan dari Afghanistan dan Suriah, serta berhenti membantu Kurdi adalah contoh melemahnya AS.
Ia juga berkicau bahwa AS runtuh karena Covid-19 dan tidak berdaya dalam membantu Eropa dan sekutunya di puncak pandemi. Ia juga mengatakan AS telah melakukan aksi menyalahkan China dan sekarang menghadapi perpecahan internal dan pemberontakan ras.
Turki telah mengerahkan semua sumber daya propaganda media negaranya untuk melawan AS. Tajuk utama TRT diarahkan untuk memukul AS sebagai bagian dari upaya yang dikendalikan oleh negara yang dijalankan oleh Ankara.
Opini di beranda media itu memuat tentang perusahaan-perusahaan AS yang “menjarah” komunitas kulit hitam. Turki mendukung protes, tetapi menekankan perbedaan pendapat adalah hal biasa. TRT menyoroti kebrutalan polisi di AS meskipun tidak pernah mengkritik kebrutalan polisi di Turki.
Tujuan Turki, Iran, China, dan Rusia dalam krisis AS saat ini adalah untuk mencari keuntungan mereka sendiri. Turki telah membanjiri Libya dengan senjata dan tentara bayaran Suriah selama krisis. China telah mendorong India melawan sengketa perbatasan. Iran melenturkan otot-ototnya di rumah dan mengirim tanker ke Venezuela. Rusia telah mengirim pesawat tempur ke Libya dan Suriah.
Semua negara ini ingin memanfaatkan krisis ekonomi akibat pandemi corona untuk keuntungan mereka. Turki sedang merancang jet tempur baru yang diberitakan media Rusia sebagai pengganti F-16. Rusia mendorong sistem pertahanannya, dan Turki ingin bekerja sama dengan Iran, Malaysia, dan Pakistan untuk meningkatkan hubungan ekonomi dan memperluas perannya di Mediterania.
Kekhawatiran atas kebangkitan negara-negara ini telah menyebabkan negara-negara lain berebut keseimbangan. Mesir, Yunani, Siprus, UEA, dan Perancis berupaya melawan Turki. [wip]