(IslamToday ID) – Turki menuduh sekutu NATO, Perancis berusaha meningkatkan kehadiran Rusia di Libya. Padahal, faktanya NATO sendiri melihat Rusia adalah sebuah ancaman.
“NATO melihat Rusia sebagai ancaman, tetapi sekutu NATO Perancis sedang berusaha meningkatkan kehadiran Rusia di Libya,” kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Turki, Mevlut Cavusoglu dalam konferensi pers bersama Menlu Hungaria, Peter Szijjarto, Selasa (30/6/2020).
“Meskipun kami (Turki) berseberangan dengan Rusia, kami berupaya untuk tidak memperburuk situasi, dengan mengupayakan gencatan senjata,” tambah Cavusoglu.
Ia melanjutkan, Perancis mendukung seorang putschist, seorang bajak laut Khalifa Haftar dengan menentang keputusan Dewan Keamanan PBB, merujuk pada jenderal pemberontak yang berbasis di Libya timur.
Libya telah dihancurkan oleh perang saudara sejak penggulingan penguasa Muammar Gaddafi pada 2011. Pemerintah baru negara itu didirikan pada 2015 di bawah perjanjian yang dipimpin PBB, tetapi upaya penyelesaian politik jangka panjang gagal karena serangan militer oleh Pasukan Haftar.
PBB mengakui pemerintah Libya yang dipimpin oleh Fayez al-Sarraj sebagai otoritas sah negara itu. Tripoli telah memerangi milisi Haftar sejak April 2019. Konflik di Libya telah merenggut lebih dari 1.000 nyawa.
Di bawah perjanjian militer dengan Libya yang ditandatangani November lalu, Turki mengirim pasukan militer untuk membantu dalam pertempuran melawan milisi Haftar.
Setelah ditemukannya kuburan massal di daerah-daerah yang ditinggalkan oleh milisi Haftar, PBB dan para ahli hukum internasional telah menyatakan keprihatinan atas kemungkinan kejahatan perang.
Haftar telah didukung secara internasional oleh Rusia, Perancis, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA).
Sementara, Peter Szijjarto mengatakan Turki dan Hungaria menyetujui upaya stabilisasi Libya. Ia meminta Uni Eropa (UE) untuk bekerja sama dengan Turki dalam upaya stabilisasi negara yang dilanda perang saudara itu.
Szijjarto menggambarkan Turki sebagai mitra penting bagi UE dan menekankan pentingnya kerja sama dengan Turki dalam masalah keamanan dan ekonomi.
“Jika ada kesepakatan, mari kita lakukan. Jika ada sesuatu yang tidak dilakukan atau tidak dipenuhi, katakan saja dengan jelas,” katanya.
“Jika kemitraan strategis ini tidak terjadi, ini akan memiliki kekurangan yang tak tergantikan untuk Uni Eropa,” tambahnya.
Turki mengajukan menjadi anggota UE pada tahun 1987 dan pembicaraan tambahan dimulai pada tahun 2005. Tetapi negosiasi buntu pada tahun 2007 karena keberatan oleh pemerintah Siprus, Yunani, Jerman, dan Perancis. [wip]