(IslamToday ID) – Sudah 25 tahun genosida Srebrenica terjadi. Sebuah tragedi besar umat manusia, di mana pasukan Serbia Bosnia membantai lebih dari 8.000 pria muslim karena alasan keyakinan.
Genosida Srebrenica terjadi pada 11 Juli 1995. Ini merupakan salah satu halaman paling gelap dalam sejarah manusia, dan ditangani dua pengadilan internasional. Ini juga sebagai insiden paling parah dalam sejarah Eropa sejak Perang Dunia II.
Pada tahun-tahun menjelang bubarnya Yugoslavia, retorika ultra-nasionalis menyebar, terutama di antara orang-orang Serbia Bosnia. Ketika konflik meletus pada awal 1990-an, populasi Bosnia dan Herzegovina sudah terjangkit kefanatikan dan kebencian.
Pada 1995, pasukan Serbia Bosnia di bawah komando Jenderal Ratko Mladic dan didukung oleh unit paramiliter dari tetangga Serbia, menyerang Srebrenica.
Populasi kota Srebrenica sekitar 24.000 sebelum perang, dan mencapai 60.000 setelah pengungsi berdatangan dari daerah lain. Srebrenica telah berubah menjadi kamp konsentrasi terbuka yang penuh dengan rasa ketakutan, kelaparan, dan penyakit yang tak berkesudahan.
Terlepas dari kekejaman dan pembantaian yang terjadi di seluruh Bosnia, Dewan Keamanan PBB, yang hanya bisa melarang penjualan senjata pada tahun 1991, tidak dapat memainkan peran yang efektif di masa itu.
Di sisi lain, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Perancis tetap acuh tak acuh terhadap situasi. Sedangkan Jerman secara aktif mendukung Kroasia dan Slovenia serta mengabaikan perkembangan di Bosnia dan Herzegovina.
Akibatnya, ketika Serbia di bawah komando Ratko Mladic mengintensifkan serangan ke Srebrenica, embargo senjata hanya berfungsi untuk mencegah muslim Bosnia mempersenjatai diri. Selain itu, persenjataan ringan di tangan umat Islam di Srebrenica ditarik oleh Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB.
Seruan pasukan muslim untuk merebut kembali senjata mereka yang dikumpulkan untuk membela diri ditolak oleh komandan Belanda yang ditunjuk PBB, Thom Karremans.
Pada 11 Juli 1995, orang-orang Karreman menyerahkan Srebrenica kepada orang-orang Serbia Bosnia. Selanjutnya, pasukan Serbia Bosnia menangkap 10.000 orang dan mulai membunuh para tahanan atas perintah Mladic. Sebanyak 8.372 pria dewasa dan anak-anak tewas dalam pembantaian yang berlangsung selama lima hari.
Warga Serbia, Ratko Mladic, yang memimpin pembantaian itu, menyatakan ia memberi hadiah Srebrenica untuk bangsa Serbia. “Ini saatnya untuk membalas dendam pada orang-orang Turki di negeri-negeri ini,” kata Mladic.
“Turki” adalah kata pengganti untuk “muslim Bosnia”. Ini adalah taktik retorika untuk meminggirkan dan menjelekkan mereka.
Karena orang-orang Bosnia juga adalah orang-orang Slavik, sehingga perencana genosida Serbia Bosnia tidak dapat menggunakan isu etnis. Namun, karena orang-orang Bosnia memilih Islam sebagai agama mereka pada abad ke-15, orang-orang fanatik ultra-nasionalis, seperti Jenderal Ratko Mladic dan Slobodan Milosevic menyebut mereka dengan nama Turki.
Di mata mereka, muslim Bosnia telah mengkhianati saudara sebangsa mereka dengan masuk Islam. Turk secara metaforis berarti muslim di Balkan karena kekuasaan panjang Ottoman di seluruh wilayah di masa lalu.
Dengan demikian, kebencian agama mendasari perang di Bosnia dan Herzegovina. Ketika milisi Serbia Bosnia mulai membantai Bosniaks, mereka melakukannya dengan keyakinan bahwa mereka membalas dendam pada Turki.
Anti-Muslim di Eropa
Sayangnya, Bosnia ternyata hanyalah mikrokosmos dari situasi umat Islam di Eropa, yang tampaknya gagal mengambil pelajaran dari pengalaman yang mengharukan ini. Saat ini, umat Islam menghadapi semua jenis kebencian dan diskriminasi agama di Eropa. Tumbuhnya fanatisme anti-muslim di Eropa sudah mengkhawatirkan.
Insiden seperti serangan fisik terhadap wanita muslim berjilbab, kejahatan rasial, dan tindakan vandalisme terhadap masjid terus meningkat. Tahun lalu, total 871 serangan ditujukan pada muslim atau institusinya terjadi di Jerman.
Ekstremis kanan dan ultra-nasionalis di Eropa menargetkan muslim sebagai “musuh baru”. Berbeda dengan situasi di masing-masing negara Eropa, ada satu persamaan pada sayap kanan yakni kebencian anti-muslim.
Pandangan radikal ini telah menyebar secara luas di masyarakat Eropa secara keseluruhan. Serangan teroris sayap kanan telah meningkat sebesar 320 persen selama lima tahun terakhir di seluruh Eropa.
Seperti di Srebrenica, sebagian besar negara-negara Eropa menutup mata terhadap tindakan buruk anti-muslim ini, seperti yang mereka lakukan 25 tahun lalu ketika genosida terjadi di jantung Eropa.
Terlebih lagi, partai-partai sayap kanan yang dibangun dengan semangat Islamophobia telah diarusutamakan, dan politik kebencian mereka telah dimasukkan ke dalam retorika dan kebijakan partai-partai di seluruh Eropa.
Pelajaran Sebelum Terlambat
Eropa memperingati setiap 11 Juli sebagai hari peringatan untuk korban genosida Srebrenica. Namun, genosida Srebrenica tak lebih hanya sekadar peringatan seremonial kecil yang diadakan setahun sekali. Eropa harus memastikan bahwa itu menjadi pelajaran abadi dan mengingatkan tentang bahaya ekstrimisme dan fanatisme ultra-nasionalis.
Tidak ada keraguan bahwa pembantaian di Bosnia dan Herzegovina, serta genosida Srebrenica, bisa dicegah seandainya negara-negara Eropa bertindak cepat dan tegas dengan menghalangi kebencian agama dan ultra-nasionalisme di Balkan.
Jika Uni Eropa ingin memastikan bahwa kejahatan mengerikan seperti itu tidak terjadi lagi, maka harus melawan semua bentuk xenophobia, termasuk kebencian anti-muslim. Masih ada kesempatan untuk bertindak sebelum terlambat. [wip]