(IslamToday ID) – Dolar AS baru-baru ini kehilangan nilainya terhadap mata uang lain atau turun hampir 5 persen pada bulan Juli. Ini adalah penurunan bulanan terbesar dalam kurun lebih dari 10 tahun terakhir.
Penurunan ini mendorong para ekonom di seluruh dunia untuk meninjau kembali peran dolar sebagai mata uang cadangan global, karena beberapa negara telah memilih opsi lain dalam transaksi bilateral mereka.
Menurut Bank Sentral Rusia dan Layanan Bea Cukai Federal, perdagangan dolar AS antara Rusia dan China turun ke rekor terendah, yakni 46 persen pada kuartal pertama tahun 2020. Data itu mendorong para ahli untuk menyarankan kedua mitra dagang tersebut untuk membentuk aliansi perbankan atau keuangan.
Demikian seperti diungkapkan oleh ilmuwan politik Rusia-AS, Dimitri Simes dalam tulisannya di Nikkei Asian Review, Senin (10/8/2020) seperti dikutip di Sputniknews.
Simes mengutip komentar dari Alexey Maslov, Direktur Institut Studi Timur Jauh di Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, yang berpendapat bahwa kolaborasi antara Rusia dan China di bidang keuangan bisa melahirkan aliansi baru.
“Banyak yang berharap ini akan menjadi aliansi militer atau aliansi perdagangan, tetapi sekarang aliansi tersebut lebih bergerak ke arah perbankan dan keuangan, dan itulah yang dapat menjamin kemerdekaan kedua negara,” ungkap Maslov.
Dalam tiga bulan pertama tahun 2020, kurang dari setengah transaksi antara kedua negara dilakukan dalam dolar, 30 persennya dalam mata uang euro, dan 24 persen sisanya dalam mata uang nasional kedua negara.
Ini menandai percapaian tertinggi sepanjang masa untuk mata uang non-dolar bagi China-Rusia, karena perdagangan antara kedua mitra menyumbang 49,15 miliar dolar AS pada paruh pertama tahun 2020. Sebagai perbandingan, pada tahun 2015 hampir 90 persen dari semua transaksi antara China dan Rusia dilakukan dalam dolar.
Tren “dedolarisasi” telah diupayakan oleh Moskow sejak awal tahun 2014. Simes mencatat, upaya itu dilakukan menyusul paket sanksi yang dijatuhkan Rusia setelah referendum reunifikasi di Krimea. Perang dagang AS-China yang menyebabkan pengenaan tarif pada barang-barang China senilai 34 miliar dolar AS oleh pemerintahan Trump pada tahun 2018, hanya memperburuk tekad Beijing.
Pada bulan Juni 2019, pejabat Rusia dan China menandatangani perjanjian untuk menjauhi dolar dalam transaksi bilateral mereka dan sebagai gantinya beralih ke mata uang nasional. Dua negara tersebut juga berjanji untuk mencari solusi alternatif bagi mekanisme pembayaran SWIFT yang dipimpin AS dalam upaya memfasilitasi transisi langsung dalam rubel dan yuan.
Rusia perlahan-lahan juga mengesampingkan dolar dalam perdagangannya dengan negara lain. Sejak tahun 2015 transaksi Moskow dengan Uni Eropa sebagian besar menggunakan euro, yang menyumbang 46 persen dari semua penyelesaian pada kuartal I pada tahun 2020, dengan 18 persen lainnya dilakukan dalam rubel.
Berdasarkan Indeks ICE, di tengah pandemi virus corona global dan upaya pencetakan uang tunai yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Federal Reserve AS, dolar baru-baru ini kehilangan nilainya ketika diukur terhadap mata uang utama.
Pada bulan Juli dolar jatuh ke 92,635, level terendah sejak Juli 2018, atau kehilangan sekitar 5 persen sepanjang bulan. Ini menandai penurunan bulanan terbesar dalam lebih dari satu dekade.
Sementara itu, harga emas telah naik ke rekor angka tertinggi, mendorong para ahli untuk kemungkinan mengevaluasi ulang status dolar sebagai mata uang cadangan dunia dan menyarankan perpindahan ke alternatif lain, dengan yuan China salah satunya. [wip]