(IslamToday ID) – Setahun sudah aksi unjuk rasa besar pecah di Irak dalam rangka melawan korupsi yang merajalela di jajaran pemerintah, salah urus ekonomi, dan meningkatnya pengangguran.
Meski sudah setahun, kemarahan publik belum sepenuhnya reda meski protes tahun lalu menyebabkan penggulingan Perdana Menteri Irak, Adel Abdul Mahdi.
Berkomitmen untuk melihat kinerja pemerintah baik, pemuda Irak telah memetik pelajaran penting dari protes tahun lalu, untuk bertahan dan menjaga gerakan tetap hidup.
Pada 25 Oktober, para pengunjuk rasa menandai ulang tahun pertama aksi besar unjuk rasa. Saat hari semakin larut, menjaga kedisplinan di jalan terbukti menjadi tugas yang berat, karena ribuan pengunjuk rasa yang turun ke jalan di Baghdad, tiba-tiba menuju ke Zona Hijau yang dijaga ketat, tempat kantor pemerintah dan kedutaan asing.
Bagi banyak pengunjuk rasa muda, long march menuju Zona Hijau tidaklah diharapkan. Prioritas mereka adalah memprotes secara damai di luarnya, dengan tujuan untuk menyampaikan pesan kepada pemerintah. Yakni tuntutan yang menyebabkan penggulingan pemerintahan Mahdi masih belum terpenuhi.
Zaid al Hindi, seorang pengunjuk rasa muda yang berasal dari Kota Karbala, berpartisipasi dalam demonstrasi hari Senin (26/10/2020) di Baghdad, tempat ia tinggal sekarang.
Hindi mengatakan kepada TRT World bahwa saat rapat umum mulai berubah arah dan bergerak menuju Zona Hijau, ia menentang bersama dengan rekan-rekannya.
“Kami menentangnya karena kami tahu milisi telah memasuki al-Khadra, sebuah daerah di sekitar kedutaan. Mereka bersiap untuk membunuh siapa saja yang masuk (Zona Hijau),” kata Hindi.
“Mereka (kelompok dengan kepentingan pribadi) dengan sengaja mengantarkan pengunjuk rasa ke Zona Hijau, dan sekembalinya mereka ke Tahrir Square, penyusup ini menyerang tenda pengunjuk rasa. Mereka bekerja untuk meningkatkan situasi sampai mereka menjadi martir dan pemerintahan (baru) jatuh.”
Mencegah Penyusup
Perbedaan pendapat di Irak harus dibayar mahal dengan aksi penculikan dan pembunuhan yang diduga dilakukan oleh milisi yang didukung Iran. Hal ini adalah peristiwa umum di negara itu akibat gejolak ekonomi yang dipercepat oleh jatuhnya harga minyak.
Para pengunjuk rasa dibebani dengan berbagai masalah, mulai dari menjaga demonstrasi tetap damai, hingga berurusan dengan kelompok politik dengan agenda penggulingan pemerintahan baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mustafa al Kadhimi.
Mereka hanya ingin memobilisasi pengunjuk rasa akar rumput, menghasilkan debat nasional tentang masalah-masalah yang mengganggu negara, dan mencari pertanggungjawaban dari pemerintah baru.
“Kami ingin membuka halaman baru dan melanjutkan protes mingguan sambil bersiap-siap untuk memberikan suara dalam pemilihan,” kata Hindi.
Protes tahun lalu sebagian besar bersifat organik dan tanpa adanya pemimpin yang terlihat. Ini sebagian besar didorong oleh kaum muda kelas pekerja dari sekte Syiah dan Sunni.
Menurut Hindi, mayoritas aktivis ingin menjaga perdamaian dalam aksi protes dan fokus pada pencapaian hasil yang positif. Tetapi kelompok-kelompok tak dikenal dan sebagian dari aktivis senior membuat hal-hal menjadi sulit di lapangan.
Sejak protes tahun lalu tumbuh secara organik, para aktivis senior mencoba untuk pegang kendali gerakan. Beberapa dari mereka memprovokasi massa agar menyasar Zona Hijau untuk meraih keuntungan politik secara pribadi.
Ayoub Khazraji, seorang aktivis masyarakat sipil berusia 30 tahun, juga menentang unjuk rasa ke Zona Hijau. Ia berkomitmen untuk menghindari pembunuhan warga sipil dan fokus pada dukungan dari akar rumput.
“Kami berusaha menjauhkan lansia dan di bawah umur dari area berbahaya untuk melindungi mereka,” katanya kepada TRT World.
“Ada beberapa orang yang mengaku sebagai demonstran secara diam-diam menyerukan penggulingan pemerintah,” tambahnya.
Khazraji memahami bahwa jika korupsi terus berlanjut dan milisi terus mempengaruhi politik, mengganti pemerintahan dengan yang lain adalah usaha yang sia-sia.
Menurut Khazraji, tuntutan utama adalah amandemen konstitusi, melarang partai-partai yang didukung milisi untuk ikut serta dalam pemilihan, mengadakan pemilihan parlemen di bawah pengawasan PBB, dan menghukum mereka yang bertanggung jawab atas tewasnya para demonstran tahun lalu.
Namun, tidak satu pun dari tuntutan tersebut terpenuhi.
Janji yang Tak Ditepati
Saat menggantikan Mahdi lima bulan lalu, Perdana Menteri Kadhimi berjanji akan memberikan keadilan bagi mereka yang tewas dalam kekerasan polisi dan tindakan milisi.
Untuk membangun kepercayaannya di antara warga Irak yang tidak puas dan kecewa, Kadhimi menampilkan dirinya sebagai perdana menteri yang bersimpati terhadap permintaan pengunjuk rasa. Ia juga mengatakan akan mencegah tindakan keras polisi dan milisi terhadap aksi protes.
Tapi jabatan perdana Kadhimi hanya membawa sedikit atau bahkan tidak ada perubahan sama sekali. Ia memiliki terlalu banyak tugas di antaranya adalah berjuang untuk mencapai keseimbangan antara Iran dan AS, mengendalikan milisi yang kejam, dan juga mengatasi krisis minyak yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan pulih.
Bagi Hani Munther, seorang pengunjuk rasa berusia 24 tahun dari Babylon, masa depan makin suram. Ia telah kehilangan seorang teman dekat dan ingin menjatuhkan pemerintah bahkan dengan mengorbankan nyawanya sekalipun.
“Tidak mungkin revolusi berhasil, tapi kami protes karena tidak ada pilihan lain. Bagaimanapun, kami tidak akan rugi, ” katanya.
Ia memiliki gelar sarjana dalam bidang fisika dari Universitas Babylon, tetapi ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk bekerja di bidangnya. “Di negara minyak dan sumber daya melimpah, saya tidak punya dinar,” katanya. [wip]