(IslamToday ID) – Presiden Donald Trump dan pesaing dari Demokrat, Joe Biden tampaknya memiliki rencana yang sama untuk Afghanistan.
Seperti diketahui, Afghanistan adalah medan perang terlama bagi Amerika Serikat (AS), yakni 19 tahun yang melibatkan gerilyawan Taliban dan terus memakan korban penduduk sipil.
Washington telah menghabiskan ratusan miliar dolar, kehilangan lebih dari 2.400 tentara, dan bahkan menandatangani perjanjian damai dengan Taliban demi menjaga stabilitas Afghanistan.
Namun, tidak ada satu pun yang bisa menahan serangan yang menewaskan puluhan ribu warga sipil Afghanistan yang menyebabkan cacat permanen.
Terlepas dari keterlibatan militer dan diplomatik AS, baik Trump maupun pesaingnya, Joe Biden tidak membicarakan tentang Afghanistan selama debat calon presiden.
Sekarang setelah pemilihan presiden AS, masih ada tanda tanya besar tentang nasib Afghanistan, siapa pun yang menjadi presiden AS berikutnya.
“Jika Trump tetap menjabat, kami akan melihat kelanjutan dari kebijakan saat ini. Tetapi jika Biden terpilih, kami tidak akan melihat runtuhnya proses seperti yang terjadi dalam kasus Iran,” kata Amina Khan, Direktur Timur Tengah dan Afrika di lembaga pemikir Institute of Strategic Studies Islamabad (ISSI) seperti dikutip dari TRT World, Rabu (4/11/2020).
Seperti diketahui, segera setelah terpilih pada 2016, Trump langsung menarik diri dari kesepakatan nuklir multilateral dengan Iran.
AS menandatangani kesepakatan damai dengan Taliban pada Februari 2020 lalu sebagai bagian dari strategi hengkangnya pasukan AS, yang juga membuka jalan bagi pembicaraan intra-Afghanistan.
Pembicaraan itu, yang berlangsung pada bulan September antara pemerintah Kabul Presiden Ashraf Ghani dan perwakilan Taliban, tidak membantu mengurangi kekerasan.
Trump telah menarik 8.600 tentara AS yang tersisa sebagai sebuah strategi di Afghanistannya. Tetapi pernyataannya yang tidak dapat diprediksi dan sering membingungkan, telah membuat banyak orang bertanya-tanya tentang komitmennya pada aspek kemanusiaan dalam konflik Afghanistan.
Sesuai kesepakatan dengan Taliban yang harus memutuskan hubungan dengan kelompok teroris seperti Al Qaeda, AS ingin memulangkan tentaranya tahun depan.
Tetapi pada 7 Oktober, Trump mengejutkan semua orang dengan menyatakan dalam Twitter-nya bahwa pasukan AS harus dipanggil kembali sebelum Natal.
Khan mengatakan niat sebenarnya Trump akan menjadi jelas jika ia terpilih kembali menjadi presiden. Ia memperingatkan bahwa gagasan penarikan pasukan yang tergesa-gesa dapat merusak pembicaraan damai yang sedang berlangsung dan semakin memberi ruang bagi para pemberontak.
“Ingat apa yang terjadi pada tahun 2014 ketika awalnya orang AS mengatakan kami akan pergi, itu menyebabkan lonjakan ekstrem dalam kekerasan dan ketidakamanan di Afghanistan,” katanya.
Sementara, Biden mengatakan dirinya akan mendukung hanya sekelompok kecil tentara AS yakni antara 1.500-2.000 personel khusus untuk operasi kontra terorisme.
Human Rights Watch (HRW) menyatakan terlepas dari inisiatif perdamaian, baik pemerintah Afghanistan dan Taliban telah meningkatkan serangan terhadap satu sama lain, di mana semakin banyak warga sipil yang terbunuh.
Apa yang terjadi setelah pemilu khususnya mengkhawatirkan negara-negara tetangga Afghanistan seperti Pakistan, yang menampung jutaan pengungsi Afghanistan.
Konflik yang memburuk dapat mendorong lebih banyak warga sipil untuk mengungsi dan mengakibatkan kekacauan di wilayah tersebut. “Siapa pun yang memenangkan pemilu, Taliban pasti akan mendapat tekanan untuk mengurangi kekerasan,” kata Khan. [wip]