(IslamToday ID) – Kasus penghinaan dan perselisihan telah merusak hubungan Presiden Perancis, Emmanuel Macron dan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan selama bertahun-tahun. Namun, perselisihan tentang kartun Nabi Muhammad akhir-akhir ini semakin merenggangkan hubungan keduanya ke titik terendah dan diprediksi bisa bertahan lama.
Pemimpin kedua negara terlibat serangkaian perang dingin dan dendam di balik layar selama bertahun-tahun, jauh sebelum perselisihan yang terjadi beberapa pekan terakhir.
Menurut analis Turki, Sinan Ulgen, Perancis akan mendorong Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi pada perekonomian Turki yang sudah rapuh.
“Baik Erdogan di Turki maupun Macron di Perancis tidak akan mengalah,” kata Ulgen yang juga kepala think tank Pusat Ekonomi dan Studi Kebijakan Luar Negeri yang berbasis di Istanbul, seperti dikutip dari Al Arabiya, Rabu (4/11/2020).
Seorang pejabat Perancis yang mengetahui kebijakan terhadap Turki mengatakan bahwa sehubungan dengan peristiwa beberapa pekan terakhir, maka dorongan untuk penjatuhan sanksi akan diangkat.
Para pemimpin Uni Eropa telah mengatakan jika Turki gagal menurunkan ketegangan di Mediterania Timur sampai 10 Desember mendatang, maka sanksi akan dijatuhkan.
Perselisihan terbaru berkobar setelah seorang guru Perancis yang menunjukkan kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan oleh Charlie Hebdo dipenggal bulan lalu.
Pemerintah Perancis yang didukung oleh banyak negara menilai serangan itu sebagai sebuah serangan terhadap kebebasan berbicara. Macron berjanji akan bekerja keras untuk menghentikan keyakinan Islam konservatif yang menumbangkan nilai-nilai Perancis.
Erdogan menuduh Macron memiliki agenda anti-Islam dan butuh pemeriksaan kesehatan mental. Negara-negara Barat yang mengejek Islam, katanya, ingin mengkampanyekan kembali Perang Salib.
Para analis dan pejabat menyatakan pada dasarnya hubungan Perancis-Turki memburuk karena bersaing dalam kepentingan strategis.
Ankara memiliki pengaruh yang semakin besar di Suriah, Afrika Utara, dan Mediterania Timur, sementara Macron adalah pembela kepentingan Eropa yang paling vokal di tempat-tempat itu.
Persaingan tersebut telah meluas menjadi perselisihan pribadi. Pada Agustus 2017, tiga bulan setelah menjadi presiden, Macron mengatakan alasan dirinya menjadi presiden adalah agar bisa berbicara dengan Erdogan.
Menurut pejabat senior Turki, pernyataan tersebut cukup mengecewakan dan membuat terkejut di pihak Erdogan. “Presiden memilih untuk langsung menyampaikan kekecewaannya atas pernyataan tersebut kepada Macron sendiri,” kata pejabat itu.
Kemudian, pada Maret 2018, Macron bertemu dengan delegasi termasuk YPG Kurdi Suriah, sebuah kelompok yang oleh Turki disebut sebagai organisasi teroris. Namun oleh Barat, YPG Kurdi dianggap sebagai sekutu untuk melawan ISIS di Suriah.
Erdogan secara terbuka menuduh Perancis mendukung terorisme. Seorang sumber yang dekat dengan pemimpin Turki mengatakan sikap Macron terhadap Kurdi menyebabkan ketegangan, baik saat pertemuan tatap muka maupun panggilan telepon.
Percakapan Tidak Cair
Pejabat Perancis menjadi frustrasi dengan tindakan Turki di Suriah. Turki dituduh sebagai pendukung Islamis radikal di antara pemberontak yang memerangi Presiden Bashar al-Assad. Namun tuduhan itu dibantah langsung oleh Ankara.
Para pejabat Perancis mengatakan Turki mengisyaratkan dapat mengirim pengungsi Suriah ke perbatasan Eropa, sehingga membahayakan kesepakatan dengan Uni Eropa dalam membendung aliran migran ke Eropa dengan imbalan bantuan miliaran euro.
Erdogan berulang kali mengancam dalam pidatonya, untuk membuka “gerbang” bagi pengungsi Suriah. Seorang pejabat Perancis mengatakan tim Macron memandang ancaman seperti itu sebagai sebuah percobaan pemerasan.
Pada saat Erdogan dan Macron bertemu di KTT NATO pada Juli 2018, hubungan mereka sangat buruk.
Anggota delegasi bertukar pikiran dan akhirnya semua pejabat dikirim, selain penerjemah, sehingga Erdogan dan Macron dapat berbicara langsung. Tapi percakapan mereka tidak cair.
“Ini hubungan yang dingin,” kata pejabat Perancis itu. Saat dimintai keterangan tentang pertemuan tersebut, pejabat Turki tidak berkomentar.
Pada November 2019, Macron mengatakan kepada pewawancara NATO yang mengalami “kematian otak” karena negara anggotanya, Turki menentang kepentingan aliansi di Timur Tengah. Sebagai tanggapan, Erdogan mengatakan Macron harus memeriksakan diri apakah dia yang mati otak.
Kedua pemimpin itu tetap membuka jalur komunikasi. Menurut pejabat Perancis, percakapan mereka via telepon biasa-biasa saja. Tim Macron membedakan retorika publik Erdogan, yang mereka rasakan adalah untuk menopang dukungan domestiknya, dan niat sebenarnya.
Tetapi retorika beberapa pekan terakhir ini telah mencapai titik terendah yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menurut pejabat Perancis, Macron memutuskan untuk tidak membalas komentar terbaru Erdogan karena penghinaan pribadi tidak bermartabat.
Sementara, para pemimpin dunia mengirim pesan tertulis kepada Macron yang isinya pernyataan belasungkawa atas pembunuhan guru itu. Dan tidak ada yang dikirim ke Macron atas nama Erdogan.
Presiden sebelum Macron, Francois Hollande sering berinteraksi dengan Erdogan saat ia menjabat dan membandingkannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. “Erdogan adalah orator nasionalis seperti Putin, mampu terbang begitu saja,” kata Hollande kepada Reuters.
“Dalam satu atau dua bulan, jika perlu, ia akan berbicara dengan Macron, tetapi masih harus dilihat apakah Macron akan membiarkannya melakukan itu tanpa konsekuensi.” [wip]