(IslamToday ID) – Direktur Eksekutif Pusat Studi Asia Tenggara di Sekolah Jindal Hubungan Internasional (JSIA), Prof Nehginpao Kipgen mengatakan masyarakat internasional khususnya PBB harus terus menekan pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi tentang krisis pengungsi Rohingya.
“Saya tidak akan mengatakan bahwa ada risiko tinggi dari Rohingya mengangkat senjata dalam jumlah yang lebih besar selama mitra internasional (PBB) terlibat pembicaraan dengan Myanmar dalam masalah ini,” katanya seperti dikutip dari Sputniknews, Kamis (5/11/2020).
Hal itu diungkapkan Kipgen saat berdiskusi panel tentang pemilu Myanmar pada hari Senin (2/11/2020) secara virtual yang diselenggarakan oleh sebuah wadah pemikir India yang didanai publik, Dewan Urusan Dunia India (ICWA).
Tetangga Myanmar seperti Bangladesh yang merupakan rumah bagi kamp pengungsi terbesar di dunia di Cox’s Bazar, dan India telah menyatakan keprihatinan atas pengungsi Rohingya yang banyak bergabung dengan barisan militan.
Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina bahkan menyebut 1,1 juta pengungsi Rohingya yang ditampung di negaranya sebagai ancaman keamanan nasional. Ia juga menyerukan agar para pengungsi itu dipulangkan.
Namun, Kipgen menyebut tidak akan ada pemulangan pengungsi Rohingya dalam waktu dekat yang saat ini berada di Bangladesh.
“Mereka (Rohingya) tidak diterima sebagai warga Myanmar oleh komunitas mayoritas Budha, yang merupakan 2/3 dari populasi. Dukungan untuk Suu Kyi’s NLD (Liga Nasional untuk Demokrasi) kuat di antara mayoritas anggota masyarakat yang tinggal di daerah,” jelas Kipgen.
Ia juga menyebut pengungsi Rohingya tidak sekadar dipulangkan, namun PBB harus melihat lebih jauh wilayah asal mereka, Rakhine yang sedang dilanda perang antara pasukan keamanan dengan kelompok militan.
“Negara lain sekarang harus memikirkan untuk mengintegrasikan pengungsi Rohingya di negara mereka. Harus ada permukiman kembali di negara tetangga dan Barat di bawah norma Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR),” saran Kipgen.
“Kami bisa yakin dengan fakta bahwa semua pengungsi Rohingya tidak akan kembali ke Myanmar. Kalaupun ada, itu butuh waktu,” tambahnya.
Ia lebih jauh menggarisbawahi bahwa pertumbuhan ekonomi Myanmar telah melambat di bawah Suu Kyi yang menahkodai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) meraih suara mayoritas di Dewan Perwakilan (majelis rendah) dan Dewan Nasional (majelis tinggi) dalam pemilihan 2015.
“Ini dapat membuatnya mengalihkan pemulihan ekonomi Myanmar ke China dalam beberapa hari mendatang. Berdamai dengan peringatan kelompok etnis di wilayah utara dan timur negara dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi telah menjadi dua papan polling utamanya,” kata Kipgen.
Menurut Kementerian Investasi dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri (MIFER), China telah menjadi investor asing terbesar di Myanmar dari tahun 1989 hingga 2011. Sementara, Singapura sedikit mengungguli China dalam hal investasinya di negara itu tahun lalu.
Kipgen mencatat bahwa Beijing kemungkinan besar akan mendapatkan kembali posisi teratasnya karena ekonomi China termasuk di antara sedikit yang telah mencatat pertumbuhan di era pasca Covid-19.
“Perspektif negara-negara Barat tentang Myanmar telah dipengaruhi oleh penanganan Suu Kyi atas krisis Rohingya dan pembelaannya atas militer di Mahkamah Internasional (ICJ) tahun ini,” kata Kipgen.
Kasus terhadap Myanmar dibawa ke ICJ oleh negara Afrika di Gambia dan sedang dalam pertimbangan yudisial. Secara signifikan, 25 persen kursi di parlemen dicadangkan untuk personel militer, yang juga menempati portofolio utama seperti urusan pertahanan dan perbatasan.
“Investasi telah terpukul dalam beberapa tahun terakhir, dan China muncul sebagai penyelamat terbesar Myanmar di bidang hak asasi manusia dan ekonomi,” ungkap Kipgen.
“Meskipun dia gagal untuk mengajak semua kelompok etnis, mayoritas pemilih masih percaya bahwa dia adalah orang terbaik untuk menyelesaikan proses perdamaian,” tambahnya.
Duta Besar Gautam Mukhopadhyaya, mantan utusan India untuk Naypyidaw, menceritakan selama diskusi bahwa Suu Kyi hanya bisa mengajak dua kelompok etnis untuk bergabung dalam gencatan senjata nasional yang telah dimulai pada 2015.
“Delapan dari 15 kelompok etnis bersenjata telah menandatangani perjanjian gencatan senjata pada 2015. Hanya dua kelompok lagi yang bergabung sejak itu. Prosesnya masih belum selesai,” katanya.
Lebih lanjut utusan India itu menggarisbawahi bahwa dukungan China penting dalam menyelesaikan kesepakatan damai, karena pengaruh Beijing dengan beberapa kelompok etnis bersenjata, dengan banyak kamp pelatihan yang berlokasi di Provinsi Yunnan, dekat perbatasan.
Jabatan Kedua Suu Kyi
Semua anggota diskusi panel sepakat dalam memprediksi masa jabatan kedua untuk Suu Kyi, bahwa ia bisa meraih suara setinggi 70 persen.
Namun, aktivis Myanmar juga mencatat tren kecenderungan otoriter yang mengakar di negara Asia Tenggara karena kebijakan NLD.
“Perannya sangat mengecewakan dalam banyak hal, terutama dalam upaya memajukan demokrasi. NLD telah mempekerjakan organisasi-organisasi besar negara, termasuk badan-badan hak asasi manusia dan pemilu, dengan loyalis mereka. Mereka ada di daftar gaji pemerintah. Mereka tidak akan menyerah begitu saja dengan mudah,” kata Khin Zaw Win, Direktur Institut Tampadipa yang berbasis di Yangon.
Ia menyesalkan bahwa hanya dua kandidat muslim Rohingya yang diizinkan mengajukan pencalonan untuk pemilihan yang akan datang. “Banyak dari mereka telah didiskualifikasi dengan alasan yang lemah. Tidak ada satu pun calon Rohingya dari daerah etnis,” tandasnya.
Beberapa kelompok hak asasi manusia menggambarkan pemilu di negara itu secara fundamental cacat karena mendiskriminasi kandidat minoritas. [wip]