(IslamToday ID) – Jajak pendapat baru oleh Institut Opini Publik Perancis (IFOP) mengumumkan lebih dari separuh muslim Perancis dengan usia di bawah 25 tahun percaya bahwa hukum syariah lebih penting daripada hukum Perancis.
Menurut lembaga tersebut, 57 persen dari sampel muslim Perancis di bawah 25 tahun menempatkan hukum syariah di atas hukum Republik Perancis, dengan angka peningkatan sebesar 10 poin persentase dari 47 persen pada tahun 2016.
Sebagai perbandingan, hanya 15 persen dari umat Katolik Perancis yang menyatakan dirinya percaya bahwa aturan agama mereka harus didahulukan dari hukum negara bagian.
Muslim muda juga tampak lebih religius daripada muslim Perancis pada umumnya. Hanya 38 persen dari mereka yang menyatakan dukungan untuk gagasan superioritas hukum syariah.
2/3 Atau 66 persen muslim Perancis juga menyatakan penolakan terhadap guru yang menunjukkan karikatur tokoh agama kepada murid mereka. Sedangkan 80 persen umat Katolik mendukung hak guru untuk melakukannya dan 44 persen muslim mendukung pelarangan agama dan simbol di lembaga pendidikan umum.
Muslim dan Katolik juga terbagi dalam pandangan mereka tentang gagasan pemisahan bagi perempuan di kolam renang umum, dengan 81 persen muslim dan sekitar 20 persen Katolik menyatakan dukungan untuk gagasan itu. 82 Persen muslim juga menyatakan dukungannya untuk studi bahasa Arab di sekolah, dengan 18 persen umat Katolik menyetujui gagasan itu.
Hanya 34 persen muslim mendukung pembubaran Collectif contre l’islamophobie en France (CCIF) dan BarakaCity, sebuah LSM dan badan amal yang dibubarkan oleh keputusan presiden karena diduga dekat dengan lingkaran Islam radikal.
Sebelum pembubarannya, BarakaCity secara resmi menggambarkan dirinya sebagai asosiasi kemanusiaan dan amal berdasarkan nilai-nilai Islam yang membantu kaum muslim, baik di Perancis maupun di luar negeri.
Dari mereka yang disurvei, 76 persen responden menyatakan dukungan untuk pelarangan BarakaCity, dengan 65 persen mendukung pembubaran CCIF.
Sampel survei terdiri dari 2.034 responden yang berusia di atas 15 tahun, termasuk 515 muslim dan 1.000 Katolik.
Perancis diperkirakan memiliki sekitar 5,7 juta umat muslim, yang mencakup sekitar 9 persen dari total populasi negara itu.
Menanggapi hasil jajak pendapat, Jean-Pierre Sakoun, Presiden Komite Republik Sekuler, sebuah asosiasi yang mempromosikan sekularisme dalam debat publik Perancis, mengatakan survei tersebut menegaskan apa yang sudah ia ketahui, bahwa tuntutan akan status tertentu dengan hak-hak tertentu berkembang pesat di kalangan muslim Perancis, terutama di kalangan anak muda yang menyukai model komunitarian.
Menurut Sakoun, hasil survei itu menunjukkan bahwa institusi Perancis termasuk sekolah berjuang untuk menegaskan kualitas sekularisme dalam hal perdamaian sipil, kebebasan kolektif, dan emansipasi individu.
Meningkatnya Ketegangan Antar-Agama
Otoritas Perancis melancarkan kampanye melawan terorisme dan “separatisme Islam” setelah serangkaian serangan teroris bulan lalu di Nice, Lyon, dan Paris, termasuk pemenggalan kepala guru sejarah Samuel Paty oleh seorang remaja pada 16 Oktober.
Presiden Macron mengutuk pembunuhan Paty dan menyebutnya serangan teroris Islam terhadap bangsa Perancis secara keseluruhan. Ia berjanji Perancis tidak akan goyah dari nilai-nilai sekularisme dan kebebasan berbicara.
Pada hari Kamis, Macron dan Kanselir Austria Sebastian Kurz membahas penggabungan kekuatan untuk memerangi Islamisme radikal di Eropa. Kurz yang negaranya mengalami insiden terorisme di Wina pada tanggal 2 November, menyatakan dukungannya untuk “front Eropa” dalam perang melawan Islamisme.
Macron telah dikecam di negara-negara muslim karena pendiriannya setelah serangan bulan Oktober. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut Macron sedang mengobarkan perang melawan Islam, sehingga harus diperiksakan mentalnya. Turki dan negara muslim lainnya menginstruksikan warganya untuk memboikot barang-barang produk Perancis.
Pekan ini surat kabar yang berbasis di London The Financial Times menuduh Macron menciptakan permusuhan terhadap muslim Perancis dengan menyebut separatisme Islam. Tulisan media itu pun langsung ditanggapi Macron dengan mengirim surat klarifikasi ke pihak redaksi. Macron menyatakan bahwa perjuangan Perancis untuk melawan fanatisme, ekstremisme, dan separatisme Islam, bukan melawan Islam. Sejak itu, The Financial Times langsung menghapus artikel tersebut.
Perancis mengumumkan langkah-langkah pada hari Kamis untuk memperkuat kontrol perbatasan Area Schengen. Juga pada hari Kamis, media Perancis melaporkan bahwa pihak kepolisian telah membuka lebih dari 180 penyelidikan terhadap dugaan ekstremisme sejak pembunuhan Paty pada 16 Oktober. [wip]