(IslamToday ID) – Setidaknya 100.000 muslim tewas saat membela Perancis selama Perang Dunia I. Untuk memperingati pengorbanan kaum muslim terlebih ketika negara itu dicengkeram oleh prasangka anti-muslim, setiap tahunnya pada “Remembrance Day” yang jatuh pada 11 November diakukan penghormatan untuk pengorbanan jutaan tentara yang tewas selama Perang Dunia I.
Tugu peringatan jatuhnya yang disebut “Perang Patriotik Hebat” ini sendiri menghiasi banyak desa di Perancis. Tak hanya itu, orang-orang juga mengenakan bunga jagung biru (Bleuet de France), beda dengan Poppy Merah yang dipakai di Inggris.
Mengutip dari laman TRTWorld, Kamis (12/22/2020), muslim memainkan peran penting dalam pembebasan Barat dalam perang dunia tersebut. Namun pemerintah Perancis lebih memilih memberdayakan kekuatan sayap kanan yang sarat akan xenofobik dan nasionalistiknya yang pernah mempora-porandakan benua Eropa.
Peringatan ini tentu bertolak belakang dengan yang dilakukan Presiden Perancis pada awal tahun 2020, Emmanuel Macron yang mengumumkan serangkaian tindakan untuk memerangi “separatisme Islam”, seperti hukuman penjara lima tahun dan denda € 75.000 bagi siapa saja yang menolak menemui dokter dari lawan jenis. Bahkan bulan lalu, Macron membuat pidato kontroversial yang menyebut Islam sebagai agama “krisis” di seluruh dunia.
Tak sampai di situ, jeratan negara Perancis bagi umat Islam diperketat setelah pemenggalan brutal terhadap Samuel Paty, seorang guru yang menunjukkan kartun Nabi Muhammad. Sejak saat itu pemerintahan Macron telah menutup lebih dari 70 sekolah dan perusahaan yang dikelola oleh kaum muslim, dan sedang menyelidiki serta mengancam untuk membubarkan 50 badan amal.
Mereka juga kini telah melabeli dua organisasi muslim utama, The Collective Against Islamophobia (CCIF) yang memantau Islamophobia, dan BarakahCity, sebuah LSM kemanusiaan besar sebagai “musuh Republik”. Banyak rumah tangga muslim telah digerebek oleh pasukan keamanan dan anti-terorisme Perancis.
Masih dari laman yang sama, semestinya Perancis perlu mengerem tindakan kerasnya saat ini terhadap komunitas muslim. Lebih adil, perlakuan terhadap minoritas tidak hanya untuk kepentingan muslim, tetapi jauh lebih sejalan dengan nilai-nilai kebebasan dan toleransi yang sering diklaim oleh Perancis untuk diperjuangkan.
Beberapa orang mengatakan pemulihan duta besarnya Perancis untuk Turki dan kunjungan menteri luar negeri Perancis baru-baru ini ke Universitas Al Azhar dimaksudkan untuk memperbaiki citranya kepada negara-negara muslim. Namun, hal krusial yang perlu dilakukan Perancis adalah menangani pencabutan hak atas komunitas muslim domestik serta meninjau kembali sejarahnya untuk mengakomodasi umat Islam. [wip]