(IslamToday ID) – Perdana Menteri (PM) China, Li Keqiang menyerukan penyelesaian cepat dari kode etik Laut China Selatan selama pertemuan puncak dengan para pemimpin negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).
Beijing sendiri berusaha untuk mengkonsolidasikan pengaruhnya di kawasan itu, di tengah tekanan yang meningkat dari AS.
Berbicara melalui konferensi video dengan para pemimpin 10 negara anggota ASEAN pada hari Kamis (12/11/2020), Li juga berjanji akan memperdalam hubungan dengan blok tersebut guna membantu pemulihan ekonomi pasca-pandemi, pembangunan infrastruktur, dan kerja sama pertahanan.
Sebagai cerminan langka dari kekhawatiran mendalam Beijing atas negosiasi kode etik (perundingan telah terhenti sejak wabah Covid-19 pada Januari), Li tidak menyebutkan waktu tiga tahun Beijing untuk menyelesaikan perjanjian tersebut pada 2021, tetapi mendesak para pemain regional untuk mengatasi gangguan oleh pandemi.
“Negara-negara harus mengambil pendekatan yang fleksibel dan pragmatis untuk mempercepat negosiasi, guna menunjukkan kepada komunitas internasional bahwa kita memiliki kebijaksanaan dan kemampuan untuk mengambil kendali yang baik atas Laut China Selatan, dan menjaga perdamaian serta stabilitas,” ungkap Li seperti dikutip dari South China Morning Post (SCMP), Sabtu (14/11/2020).
Untuk mempercepat negosiasi, China bersedia menjadi tuan rumah pertemuan secepat mungkin jika situasi pandemi memungkinkan.
China dan ASEAN memulai negosiasi pada 2013 mengenai kode etik yang seharusnya mengikat, untuk mengatur perilaku maritim di jalur perairan yang penting secara strategis tersebut, yang sama-sama diklaim oleh China serta anggota ASEAN seperti Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Tetapi hanya sedikit kemajuan yang dicapai, sampai pembicaraan dipercepat pada 2016 setelah Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag menolak klaim China atas perairan tersebut yang mendasarkan pada “sembilan garis putus-putus”.
Pada 2018, China dan ASEAN mencapai kesepakatan tentang “draft teks negosiasi tunggal” yang akan digunakan sebagai dasar diskusi.
Selama KTT China-ASEAN pada 2018, Li mengusulkan untuk menyelesaikan kode etik pada 2021 dan pembacaan kedua draf negosiasi dimulai pada Januari. Tetapi tidak ada kemajuan yang dibuat sejak itu karena pandemi Covid-19.
Para pengamat di kawasan itu mengatakan akan sulit bagi semua pihak untuk mencapai tenggat waktu semula 2021, karena pertemuan tatap muka tidak mungkin dilakukan, dan negara-negara (yang khawatir dengan meningkatnya persaingan antara China dan AS), akan lebih berhati-hati soal melanjutkan perundingan.
Le Hong Hiep, seorang pengamat dari ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, mengatakan Beijing mungkin berusaha untuk bergerak maju dengan negosiasi dalam upaya untuk menjauhkan Washington dari gambaran tersebut.
“China mencoba mendorong proses untuk menunjukkan bahwa negara itu masih bisa bekerja dengan ASEAN untuk mengatasi perselisihan tersebut. Dan negara-negara eksternal seperti AS tidak boleh ikut campur dalam perselisihan tersebut, sehingga malah menjadi rumit,” terangnya.
“Dalam hal ini, persaingan AS-China yang semakin dalam dapat mendorong China untuk mempercepat negosiasi.”
Wu Shicun, Kepala Institut Nasional China untuk Studi Laut China Selatan, mengatakan jadwal tahun 2021 kemungkinan akan ditunda, seiring negara-negara di dunia sedang fokus pada upaya untuk memulihkan ekonomi pasca-pandemi daripada kerja sama maritim.
“Ada ketidakpastian yang lebih besar, apakah perundingan kode etik dapat selesai sesuai rencana,” tuturnya.
“Setiap peningkatan intervensi oleh kekuatan eksternal di kawasan, yang tidak akan didisiplinkan oleh kode etik, juga akan menimbulkan keraguan tentang bagaimana kode etik akan berperan dalam menstabilkan situasi dan mengelola krisis di kawasan.”
Selama KTT pada hari Kamis, Li menyerukan hubungan ekonomi yang lebih kuat dengan ASEAN, yang sekarang menjadi mitra dagang terbesar China melampaui Uni Eropa dan AS.
Akhir pekan ini, China diharapkan menandatangani Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), perjanjian perdagangan bebas multilateral yang mencakup 10 negara ASEAN serta Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
He Weiwen, anggota Dewan Eksekutif Masyarakat China untuk Studi Organisasi Perdagangan Dunia, mengatakan hubungan perdagangan yang kuat dengan Asia akan menjadi prioritas bagi Beijing untuk mengimbangi tekanan dari AS.
“Setelah tiga tahun perang dagang dengan AS, perdagangan China dengan ASEAN meningkat, sementara perdagangan dengan Eropa telah membuat beberapa kemajuan kecil, dan perdagangan dengan AS menurun,” ungkapnya pada sebuah forum di Beijing.
“Jadi fokus kami harus di Asia, Eropa, dan Amerika Utara, karena jumlah perdagangan yang digabungkan dengan Asia dan Eropa mencapai 70 persen (dari total volume perdagangan China).” [wip]