(IslamToday ID) – Militer Myanmar akan membebaskan 23.314 tahanan pada perayaan Hari Serikat meski protes terhadap kudeta belum surut. Hal itu dilontarkan oleh Jenderal Min Aung Hlaing dalam sebuah pernyataan, Jumat (12/2/2021).
Ini adalah amnesti pertama militer Myanmar yang merebut kekuasaan pemerintah pada 1 Februari 2021 lalu dan menggulingkan pemimpin terpilih secara demokratis Aung San Suu Kyi dan menahan pejabat penting pemerintah lainnya.
Militer Myanmar sendiri membenarkan pengambilan kendali negara dengan mengklaim penyimpangan dalam pemilu pada November 2020 silam yang dimenangkan Suu Kyi secara telak berturut-turut.
Selain pembebasan, tahanan yang menjalani hukuman atas kejahatan yang dilakukan sebelum 31 Januari 2021 untuk pelanggaran apapun juga akan dikurangi hukumannya.
Min Aung dalam sebuah pidato mengatakan amnesti narapidana merupakan bagian dari upaya membangun negara demokratis yang disiplin.
Namun, tidak ada indikasi bahwa Suu Kyi atau menteri sampai pejabat pemerintah lainnya yang ditahan dalam kudeta akan dibebaskan sebagai bagian dari amnesti.
Sebagian kalangan pun menilai amnesti yang dilakukan militer Myanmar tidak mungkin akan mendinginkan kemarahan pengunjuk rasa terhadap para jenderal militer.
Sejauh ini, sebagian besar aksi demo berlangsung damai tetapi polisi tetap menggunakan meriam air untuk melawan para pengunjuk rasa.
Selain itu ada kabar bahwa polisi menembakkan peluru tajam kepada seorang wanita bernama Mya Thweh Khine pada hari Jumat (12/2/2021) dalam kondisi kritis dan sedang dirawat di sebuah rumah sakit di ibukota Naypyidaw dengan luka tembak di kepala.
Laporan tersebut didasarkan pada video yang beredar pada hari yang sama. Di dalam video tersebut, Mya Thweh Khine tiba-tiba jatuh ke tanah saat berlindung dari kanon air milik kepolisian Myanmar.
“Luka serius yang diderita wanita muda ini disebabkan oleh polisi Myanmar yang menembakkan peluru tajam langsung ke arah pengunjuk rasa,” kata Kepala Lab Bukti Krisis Amnesty International, Sam Dubberley, seperti dikutip dari CNN.
Menanggapi protes yang terus berlangsung, militer Myanmar telah berusaha untuk membatasi akses internet dan layanan berita serta menerapkan undang-undang keamanan siber baru untuk membatasi arus informasi. [wip]