ISLAMTODAY ID — Ditengah kebijakan keras dan subversif Macron tentang Islam dan sayap kanan, komunitas Muslim Prancis kini berjuang untuk relevansi dan kelangsungan hidupnya.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menjalankan misi untuk membentuk dan menata ulang kelompok Islam. Prancis masa lalu mengklaim memiliki misi untuk memberadabkan dunia ‘to civilise’, Namun Prancis masa kini justru dikenal memiliki tujuan picik untuk memojokkan komunitas Muslim.
Dilansir dari TRTWorld, Sabtu (13/2), langkah Macron yang fokus pada Minoritas Muslim yang berjumlah 5,4 juta jiwa tersebut juga memiliki dampak memperkuat ketidak-amanan Prancis posisinya di dunia serta rasa identitasnya. Sebelumnya, diketahui kondisi saat ini Prancis justru sedang bergulat hebat dengan pandemi virus corona.
Gelombang protes anti-rasisme pada musim panas lalu menyoroti ketidakmampuan negara dalam menangani permasalahan-permasalahan sosial dan beban warisan kolonialnya.
Aksi-Aksi protes terhadap kekerasan polisi, ketidakamanan atas ekstremisme yang tumbuh di dalam negeri dan gerakan demo ‘Yellow Vest’ (Jaket Kuning) terhadap ketidaksetaraan ekonomi telah menciptakan kesan sebuah negara yang tidak tertambat (konsitusi) dan tanpa arah kemudi.
Pemimpin sayap kanan Prancis Marine Le Pen diketahui kini unggul dalam pemilihan presiden 2022. Diketahui, hampir 60 persen orang Prancis tidak setuju dengan pemerintahan Emmanuel Macron.
Dengan latar belakang politik kedepan yang cukup suram itu, Macron telah mendapat suatu kondisi yang oleh akademisi Abdellali Hajjat disebut sebagai “rasisme konsensus yang dianut secara luas oleh elit Prancis.”
Hal tersebut menawarkan Macron garis kehidupan politik baru yang bergema secara luas dalam masyarakat Prancis yaitu momok terhadap Islam atau spektrum anti-Islam.
Dr Farid Hafez, seorang ilmuwan politik Austria di Departemen Ilmu Politik dan Sosiologi di Universitas Salzburg menilai kebijakan Prancis terhadap Muslim sebagai upaya “domestikasi”.
Akan tetapi dengan berfokus pada Muslim dan Islam, Macron juga berupaya mencapai beberapa tujuan dan kepentingan politik tertentu.
Tujuan Politik dan terpenting pertama yakni dengan cara mengalihkan para pemilih dari kebijakan dalam negeri yang tidak populer.
Kedua, Macron berusaha untuk mengepung sayap kanan dalam perang budaya yang melanda negara itu, dan Islam telah menjadi kendaraan utamanya untuk melakukannya.
Piagam Imam dan RUU Separatisme
Pada bulan Oktober tahun 2020 lalu dalam pidatonya yang penting, Macron berbicara bahwa “Islam dalam krisis” dan membutuhkan upaya untuk “merestrukturisasi Islam. “Pidatonya secara luas ditafsirkan membingkai “Islam sebagai masalah” bagi negara.
Terlepas dari kritik yang meluas, Macron terus menekan, memperkenalkan RUU kontroversial pada bulan Desember lalu. Sementara itu, saat ini RUU itu sedang diproses melalui parlemen. Sasaran, tujuannya? “Separatisme Islamis.”
Namun, Pemerintah Prancis gagal mendefinisikan istilah itu. Muslim Prancis khawatir hal itu akan digunakan sebagai mekanisme hukum yang mencakup semua untuk mengucilkan keyakinan Muslim secara normatif, menutup masjid-masjid dan organisasi masyarakat (Ormas) Islam.
Contoh-contoh yang digunakan untuk menampilkan separatisme Islam membelok menjadi lebih dangkal. Dalam wawancara untuk membela RUU kontroversial tersebut, Perdana Menteri Jean Castex mengutip tindakan seorang siswa sekolah menengah, Tindakan tersebut yaitu saat siswa itu “membaca ayat-ayat [Al-Quran] sambil menutup telinga mereka di kelas musik,” ini dinilainya sebagai bentuk permusuhan terhadap republik Prancis.
Sementara itu, kini pemerintah Macron mendorong adanya “Piagam Imam”. Piagam Imam merupakan seperangkat prinsip yang akan mendefinisikan Islam di Prancis.
Piagam Imam itu diterbitkan akhir bulan lalu, meski beberapa organisasi Muslim menolak untuk menandatanganinya. Krisis legitimasi kemungkinan akan mengaburkan implementasi Piagam Imam tersebut.
Akan tetapi, bagi Prancis yang dikenal memuji kredensial sekulernya, pemerintah Macron tidak segan-segan melibatkan pemerintahannya dalam menata ulang eksistensi Islam di negara tersebut.
“Piagam Imam Prancis memberikan sinyal kepada Muslim bahwa mereka harus sepenuhnya berasimilasi dan tidak berhak menjadi manusia bebas yang bermartabat,” ujar Hafez saat berbicara kepada TRT World.
Sementara itu, Badan yang bertugas menyalin dan menerbitkan visi Macron tentang ‘Islam Prancis’ adalah Dewan Iman Muslim Prancis (CFCM).
CFCM didirikan pada tahun 2003 oleh Menteri Dalam Negeri Prancis Nicholas Sarkozy. Sejak awal, CFCM telah menjadi badan kontroversial tanpa kedudukan hukum yang bertindak sebagai penghubung antara negara Prancis dan penduduk Muslim. Namun, CFCM tidak menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh TRT World.
Presiden CFCM, Mohammed Moussaoui, baru-baru ini mengejutkan banyak orang dalam pernyataannya bahwa Muslim di negara tersebut tidak menghadapi diskriminasi.
Narasi tersebut merupakan hal yang diinginkan Istana Elysee bagi umat Islam dan yang sekarang dipromosikan oleh ‘Piagam Imam’.
Dalam Pasal 9, piagam tersebut menyatakan bahwa “kecaman atas tuduhan rasisme Negara” akan dianggap sebagai tindakan “pencemaran nama baik.”
Dalam tindakan menyalahkan korban, dokumen itu bahkan mengatakan bahwa berbicara tentang rasisme negara “memperburuk keduanya yakni kebencian anti-Muslim dan kebencian anti-Prancis.”
Dokumen itu juga berupaya melarang masjid terlibat dalam “pidato politik tentang konflik-konflik asing.” Misalnya, Diskusi tentang ketidakadilan politik di seluruh dunia, krisis kemanusiaan di Palestina atau Mali dapat dianggap sebagai bentuk ekstremisme, atau lebih buruk, separatisme. Selain itu, pidato di masjid yang “memusuhi kebijakan luar negeri Prancis” juga akan dilarang.
Farid Slim, seorang mantan imam di Chambery, sebuah kota Alpen di wilayah Tenggara Prancis saat pertama kali mendengar hal itu, pihaknya merasa terkejut dan marah menanggapi Piagam Imam.
“Jelas terbukti bahwa teroris tidak menghadiri masjid, jadi mengapa menuding para imam?” ujar Farid Slim.
“Prinsip sekularisme Prancis seharusnya “menjamin kenetralan negara” terhadap agama, tetapi piagam ini merupakan upaya untuk “campur tangan dalam ibadah dan keyakinan seroang Muslim,”, tandasnya.
Farid Slim juga khawatir bahwa piagam itu akan “menstigmatisasi” Muslim. Dengan mengharuskan Muslim dan para Imam untuk mengadopsi prinsip-prinsip Republik Prancis, itu mengasumsikan bahwa Muslim belum mengikuti prinsip republlik .
Menurut Slim, Piagam Imam itu sangat “diskriminatif” karena hanya berlaku untuk Muslim. Merujuk pada Piagam itu yang menargetkan Muslim tetapi dipaksakan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri tanpa berkonsultasi dengan mereka.”
Ironisnya, tentu saja, meskipun Muslim diharuskan untuk bersikap apolitis, piagam itu sendiri merupakan bukti pemaksaan politik dari Macron.
“Sebagai warga negara Prancis, saya berhutang pada diri saya sendiri untuk berbicara” menentang piagam, dan kebijakan pemerintah terhadap Muslim, jelas Farid Slim
Slim menambahkan bahwa dengan perangkat kebijakan tersebut ini akan kembali ke manajemen khas negara kolonial terhadap Muslim.
Menerapkan Ketidakadilan Melalui Teror
Bagi sejumlah pihak, seperti Houria Bouteldja, putri imigran Aljazair dan hingga baru-baru ini juru bicara dan pendiri Partai Republik Pribumi (PIR) Prancis, kebijakan pemerintah terhadap Islam adalah tentang “mencabut semua kapasitas Muslim untuk bertindak dan memprotes sebuah tatanan tidak adil yang mendiskriminasi mereka. ”
Diketahui, Bouteldja telah dianggap sebagai penjahat oleh lembaga politik negara karena berani menantang rasisme struktural di negara itu.
Ketika baru-baru ini Houria Bouteldja mengatakan bahwa pemikiran anti-kolonial yang dipromosikan partainya selama 15 tahun terakhir, kini “meresap ke seluruh universitas”, akademisi dan elit politik Prancis memanggil dirinya dan partainya “Islam-Kiri.”
Partai Politik PIR Houria Bouteldja baru-baru ini menutup pintunya di tengah tekanan besar dari politisi negara, media dan akademisi, yang menjadi terlalu berat untuk ditanggung oleh banyak anggotanya.
Akan tetapi tekad Houria Bouteldja untuk berbicara menentang perlakuan Prancis terhadap Muslim tetap tak tergoyahkan.
Dia mengatakan bahwa Muslim tidak memiliki solusi lain selain untuk “mengatur dan melawan” “kebijakan keamanan rasis dan otoriter” negara.
Tetapi dentuman genderang yang terus menerus dari agitasi terhadap Islam dan Muslim Prancis juga memiliki dampak.
Saat koresponden TRT World menjangkau para Imam untuk berbicara tentang kebijakan negara, beberapa dari mereka merasa khawatir tentang dampak dari tanggapannya bagi nasib masjid mereka dan bahkan bagi anggota keluarga mereka. Banyak Iamam yang ingin menundukkan kepala atau terpaksa diam karena khawatir akan teror.
Elias d’Imzalene, seorang pembela hak asasi manusia, berpendapat bahwa kebijakan anti-Muslim hadir di banyak pemerintahan berturut-turut baik di kiri maupun kanan. Akan tetapi undang-undang separatisme yang sekarang melalui parlemen tidak lebih dari “legalisasi apartheid de facto.”
“Dalam beberapa bulan terakhir, sekolah Islam, Imam dan Masjid mengalami penggeledahan, pembubaran, dan penutupan sewenang-wenang,” ujar Elias d’Imzalene berbicara kepada TRT World.
Menurut Elias d’Imzalene, langkah ini adalah kebijakan “memaksakan ketidakadilan melalui teror”
Piagam Imam dan RUU Separatis yang dicetuskan Macron bukanlah pilihan, jelas d’Imzalene, “itu sebuah diktat,” dan jika Muslim tidak mendaftarkan dirinya, mereka ditangkap atau dipenjarakan.[Resa]
Sumber: TRT World