(IslamToday ID) – Jepang dan Korea Selatan (Korsel) kembali bersitegang terkait sengketa pulau di Laut Jepang. Ketegangan ini diawali saat Jepang memperbarui klaimnya atas pulau yang diperebutkan dengan Korsel di acara tahunan yang digelar di ibukota prefektur Matsue pada Senin (22/2/2021).
Ketegangan antara dua negara bertetangga itu memang sudah tinggi setelah Korsel menuntut kompensasi atas tindakan Jepang dalam Perang Dunia II. Hari Senin itu adalah hari peringatan Jepang menempatkan pulau tersebut di bawah yurisdiksi prefektur Shimane pada 1905.
Jepang telah mengadakan upacara tahunan sejak 2006 dalam upaya untuk meningkatkan klaimnya atas pulau itu.
Pulau kecil tak berpenghuni yang kaya akan ikan di lepas pantai barat laut Shimane itu disebut Takeshima di Jepang, sementara Dokdo di Korsel. Pulau itu dikendalikan oleh Korsel sejak tahun 1950-an.
Pejabat Kantor Kabinet yang mewakili pemerintah pusat Yoshiaki Wada, pada upacara itu menuduh pendudukan Korsel tidak sah dan tidak memiliki dasar hukum apapun di bawah hukum internasional. “Ini sama sekali tidak bisa diterima,” kata Yoshiaki Wada seperti dikutip dari Associated Press (AP), Kamis (25/2/2021).
Gubernur Shimane, Tatsuya Maruyama mengkritik tindakan Korsel di pulau itu, termasuk latihan militer. Ia menganggap itu sebagai upaya untuk menjadikan pendudukan Takeshima sebagai fakta yang dicapai. Ia mendesak pemerintah Jepang untuk menyelesaikan perselisihan ini melalui diplomasi.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Korsel mengecam Jepang karena dinilai melanjutkan provokasi yang sia-sia dengan mengadakan acara tersebut.
Dalam sebuah pernyataan, Korsel menuntut agar acara tersebut dihapuskan. Mereka menegaskan bahwa pulau itu adalah wilayah Korsel berdasarkan sejarah, geografi, dan hukum internasional.
Akan tetapi, Sekretaris Kabinet Katsunobu Kato mengatakan Jepang bertekad untuk melindungi hak teritorialnya.
“Takeshima jelas merupakan wilayah Jepang berdasarkan hukum internasional dan berdasarkan fakta sejarah,” katanya.
“Untuk memecahkan masalah Takeshima, penting untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari komunitas internasional.”
Hubungan kedua negara jatuh ke level terburuk setelah pengadilan Korsel memerintahkan perusahaan-perusahaan Negeri Sakura untuk memberikan kompensasi kepada warganya yang menjadi korban perang kerja paksa di masa kolonialisme Jepang.
Jepang menolak permintaan Korsel dan bahkan mengajukan persoalan tersebut ke arbitrase.
Sejarah kolonialisme Jepang di masa Perang Dunia II memang kerap menjadi batu ganjalan relasi Tokyo dan Seoul.
Korsel yang kala itu masih bersatu dengan Korut, berada di bawah jajahan Jepang sekitar 1910-1945.
Setelah bertahun-tahun mandek, pada Juni 1965 Korsel-Jepang akhirnya membuka hubungan diplomatik dengan meneken Traktat Hubungan Dasar.
Sejak itu, normalisasi relasi kedua negara terus berjalan. Jepang dan Korsel juga merupakan sekutu dekat Amerika Serikat (AS).
Korsel secara resmi menuntut permintaan maaf dan kompensasi dari Jepang atas kekejaman di masa perang, terutama terhadap perempuan Negeri Ginseng yang menjadi korban perbudakan atau dikenal Jugun Ianfu.
Tuntutan maaf itu disampaikan Presiden Korsel Lee Myun-Bak saat mengunjungi Takeshima atau Dokdo pada 2012 lalu. Lawatan itu menjadi kontroversial lantaran Lee merupakan presiden pertama Korsel yang mengunjungi pulau yang disengketakan kedua negara.
Berdasarkan Konferensi Perbudakan Seksual Militer Jepang, sebagian besar perempuan yang dipekerjakan berusia di bawah 18 tahun.
Kedua negara juga sempat bertikai lantaran upaya Jepang untuk menghapus sejarah kekejaman masa penjajahannya di era Perang Dunia II dalam penulisan buku pelajaran sekolah menengah pertama dan atas. [wip]