(IslamToday ID) – China terus maju dengan rencananya untuk mengubah sistem elektoral (pemilu) Hong Kong. Kongres Rakyat Nasional China (NPC) tahun ini akan membahas soal rencana tersebut, untuk memastikan pos-pos pemerintahan di Hong Kong hanya diisi oleh loyalis Beijing yang disebut sebagai Patriot.
“Parlemen China (sebagai penyelenggara NPC) memiliki wewenang untuk meningkatkan sistem elektoral Hong Kong. Struktur elektoral Hong Kong harus sepenuhnya mengimplementasikan prinsip Patriot yang memerintah,” kata juru bicara NPC, Zhang Yesui seperti dikutip dari Aljazeera, Sabtu (6/3/2021).
Ada beberapa perubahan yang akan masuk dalam rancangan baru sistem elektoral Hong Kong. Salah satunya peningkatan ukuran komite penyelenggara pemilu Hong Kong dari 1.200 ke 1.500 orang. Selain itu, peningkatan ukuran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dari 70 ke 90 kursi.
Pemerintah China juga akan membentuk badan baru yang berfungsi untuk menyeleksi kandidat-kandidat yang akan mengisi pos pemerintahan di Hong Kong. Jika pemerintah China berencana menerapkan sistem baru tersebut pada pemilu legislatif Hong Kong berikutnya, maka diperkirakan pemilihan akan mereka tunda lagi hingga 2022.
Dalam pembukaan NPC, pemerintah China menyatakan semua perubahan akan ada untuk tujuan yang baik. Terutama, kata mereka, untuk menjaga dan menangkal pengaruh luar terhadap keberlanjutan pemerintahan di Hong Kong. Adapun hal itu adalah hak prerogatif China.
“Hanya dengan Patriot memimpin Hong Kong maka segala kebijakan pemerintah pusat akan bisa diimplementasikan dengan baik untuk menjaga hukum dasar, stabilitas jangka panjang, serta keamanan Hong Kong,” ujar Zhang Yesui.
Jika rencana perubahan sistem elektoral Hong Kong ini terwujud, hal itu akan menjadi pukulan baru untuk politisi dan aktivis pro-demokrasi. Mereka tidak hanya sudah ditekan oleh UU Keamanan Nasional, tetapi juga berpotensi tak akan memiliki kesempatan untuk mengisi pos pemerintahan dan melakukan perubahan.
Saat ini, 50 persen kursi di parlemen Hong Kong dipilih melalui sistem pemilihan langsung. Biasanya, politisi pro-demokrasi memiliki capaian yang lebih baik dibanding loyalis Beijing. Hal itu didukung prinsip hak pilih universal (Universal Suffrage) yang memungkinkan warga untuk menentukan sendiri siapa wakilnya di pemerintahan.
“Tapi, apa yang terjadi di Hong Kong sekarang adalah kemunduran, bahkan mendekati ekstrem sebaliknya, semakin jauh dari prinsip hak pilih universal,” ujar dosen dari Departemen Pemerintahan dan Administrasi Publik Universitas China, Ivan Choy. [wip]