ISLAMTODAY ID — Media The Australian melalui Koresponden Asia Tenggaranya Amanda Hodge menerbitkan laporan mengejutkan terkait peluang Indonesia menuju kekuasaaan tunggal ‘One Party Rule”.
Laporan yang terbit pada 8 Maret 2021 berjudul “Indonesia moves closer to one-party rule as Jokowi aide takes over opposition” itu menyoroti maraknya kritik dan reaksi negatif atas manuver politik Kepala Staf Presiden Moeldoko.
Langkah Pemerintah Indonesia dituduh sebagai “ejekan terhadap demokrasi” setelah Kepala Staf Presiden Joko Widodo menyusun pertemuan luar biasa Partai Demokrat dan menyatakan dirinya sebagai Ketua. Partai Demokrat merupakan salah satu partai oposisi terakhir di negara Indonesia, selain PKS (Partai Keadilan Sejahtera).
Pendiri Partai Demokrat dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutuk langkah akhir pekan yang dilakukan Kepala Staf Presiden yaitu Moeldoko. Dia mengutuk karena menggulingkan putranya sendiri Agus Harimurti Yudhoyono sebagai “tindakan makar” dalam surat terbuka resminya kepada Presiden Jokowi.
Metode ‘Pecah Belah’ dan ‘Taklukkan’
Analis politik telah memperingatkan upaya yang jelas dari pemerintah untuk “menaklukkan atau meminimalkan” partai oposisi melalui model divide-and-conquer yang telah menyebabkan pemfaksian dan akhirnya pembelotan ke koalisi pemerintahan dari tiga partai oposisi sebelumnya.
Agus Yudhoyono mendesak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia turun tangan dalam sengketa tersebut.
“Kementerian harus menolak dan dengan jelas mengatakan bahwa pengambilalihan kekuasaan dan kepemimpinan Partai Demokrat adalah ilegal dan inkonstitusional,” ujarnya dilansir dari The Australian, Senin (8/3).
“Dalam kongres luar biasa itu, para hadirin diberi jaket pesta agar seolah-olah memiliki suara yang sah, padahal seluruh proses sebenarnya tidak sah dan kuorumnya tidak terpenuhi sama sekali.”tandas Agus Harimurti Yudhoyono.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan bahwa pemerintah tidak mengakui Jenderal Moeldoko sebagai ketua baru Partai Demokrat.
Namun, mereka hanya dapat melakukan intervensi jika kelompok sempalan barunya mengajukan dokumen resmi yang memperingatkan parlemen tentang perubahan resmi dalam kepemimpinan partai ke Kementerian Hukum dan HAM.
“Hanya dengan begitu pemerintah dapat mengatakan apakah ini sah dan apakah (pertemuan) diadakan sesuai dengan konstitusi partai, di antara masalah lainnya,” ungkap Mahfud MD.
Presiden Jokowi telah dikritik karena melemahkan demokrasi Indonesia dengan menarik enam dari sembilan partai parlemen ke dalam pemerintahan koalisi besar, termasuk Partai Gerindra dari dua kali penantangnya dalam Pilpres Prabowo Subianto. Partai ketujuh secara longgar sejalan dengan pemerintahannya.
Namun langkah terbaru adalah yang paling terang-terangan, mengingat Jenderal Moeldoko bukan anggota Partai Demokrat sebelum ia mengadakan pertemuan tidak inkonstitusional di Sumatera Utara dan kemudian menyatakan dirinya sebagai pemimpin baru Demokrat setelah pemungutan suara internal.
Pemerintahan Jokowi kini mengendalikan lebih dari 74 persen parlemen, meskipun itu akan meningkat menjadi 83 persen jika berhasil membawa Partai Demokrat ke dalam pangkuannya. Langkah ini akan meninggalkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai satu-satunya oposisi.
Juru bicara PKS Mardani Ali Sera pada hari Senin (8/3) menggambarkan langkah tersebut sebagai “bencana demokrasi”.
“Pemerintah memiliki tugas untuk menjadi pemangku kepentingan yang dewasa dan adil. Jangan sampai melemahkan parpol mana pun, ”ujarnya.
Direktur Indonesia Political Review, Ujang Komarudin mengatakan ambisi Moeldoko sudah terkenal, dan dia tidak bisa bertindak tanpa sepengetahuan Presiden Jokowi atau jika tidak disetujui.
“Jika Presiden tidak memaafkan ini, itu tidak akan pernah terjadi,” ujar Komaruddin.
“Jokowi dapat dengan mudah memperingatkan Moeldoko agar tidak mencampuri urusan partai oposisi, terutama dengan cara yang tidak etis.”
Seruan agar Presiden mencopot Moeldoko dari jabatannya ditolak oleh seorang anggota staf istana pada hari Senin yang mengatakan itu “urusan masing-masing”.
“Itu urusan pribadinya. Konstitusi kami menjamin hak setiap individu untuk berpendapat dan menentukan hak politiknya, ”ujar Ali Mochtar Ngabalin kepada Detik.
Tetapi analis politik dan jajak pendapat Indonesia Saiful Mujani mengatakan langkah itu merupakan indikasi lebih lanjut dari tren “demokrasi yang mundur” di Indonesia setelah melemahnya badan antikorupsi secara tiba-tiba pada tahun 2019.
“Ini terlihat dan terasa sangat sistematis,” tandas Mujani.
“Metode bagi-dan-taklukkan (divide-and-conquer) ini telah digunakan oleh para pemimpin saat ini untuk memperkuat koalisi mereka dan membungkam semua suara yang berlawanan.”(Res)
Sumber: The Australian/Chandi Vasandani, Amanda Hodge