(IslamToday ID) – Anggota parlemen Perancis akan melarang pemakaian hijab di depan umum bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Aturan tersebut juga melarang burkini di kolam renang umum dan melarang pemakaian jilbab bagi mereka yang menemani anak-anak dalam perjalanan sekolah.
Pemungutan suara pada hari Selasa (30/3/2021) belum berarti larangan tersebut akan menjadi undang-undang, tetapi itu mencerminkan sentimen mayoritas majelis tinggi Perancis. Pemungutan suara datang dalam konteks RUU yang menurut mereka menegaskan penghormatan terhadap prinsip-prinsip Republik.
Mayoritas senator mendukung larangan di ruang publik oleh anak di bawah umur dan pakaian apa pun yang akan menandakan sebuah inferiorisasi wanita atas pria. Suara tersebut bertentangan dengan posisi pemerintah dan perlu dikonfirmasi oleh Majelis Nasional untuk menjadi undang-undang.
“Setiap kali kami telah mengusulkan memperkuat pasal ini, terutama terkait dengan cadar dan tanda-tanda yang mencolok, pemerintah telah mundur,” kata seorang senator sayap kanan, Bruno Retailleau seperti dikutip dari 5 Pillars UK, Senin (5/4/2021).
Cadar, menurutnya, bersifat seksis, juga penanda ketundukan perempuan dan panji separatisme. “Berhentilah memberi tahu kami bahwa jilbab hanyalah sepotong kain, sementara itu mencirikan klaim para ideolog Islamis untuk memaksakan kepada kami kontra-masyarakat, terpisah dari komunitas nasional. Situasinya sangat serius,” katanya.
Cadar sudah dilarang di sekolah-sekolah Perancis. Presiden Emmanuel Macron mengatakan cadar tidak sesuai dengan kesopanan Perancis, tetapi ia mengatakan tidak ingin membuat undang-undang yang melarangnya di jalan.
Kelompok hak asasi manusia Amnesty International mengatakan peraturan baru tersebut akan semakin membuka jalan bagi kebijakan diskriminatif terhadap minoritas muslim di negara tersebut.
“Undang-undang yang diusulkan ini akan menjadi serangan serius terhadap hak dan kebebasan di Perancis,” kata peneliti Eropa Amnesty International Marco Perolini.
Menurut Perolini, ia telah berkali-kali melihat pihak berwenang Perancis menggunakan konsep radikalisasi atau Islam radikal yang tidak jelas untuk membenarkan penerapan tindakan tanpa dasar yang valid, yang berisiko mengarah pada diskriminasi dalam penerapannya terhadap muslim dan kelompok minoritas lainnya.
“Stigmatisasi ini harus diakhiri,” kata Perolini.
Amnesty mengatakan pada kondisi saat ini, beberapa aspek dari RUU tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang perlindungan kebebasan berserikat dan berekspresi serta prinsip non-diskriminasi di Perancis.
“Ini akan memungkinkan otoritas publik untuk mendanai hanya organisasi yang menandatangani kontrak komitmen Republik, konsep yang didefinisikan secara samar yang terbuka lebar untuk penyalahgunaan dan mengancam kebebasan berekspresi dan asosiasi yang diklaim oleh otoritas Perancis untuk dipertahankan,” ungkap Perolini.
Selama beberapa bulan terakhir, Perancis telah menutup organisasi anti-Islamofobia terbesar di negara itu, serta badan amal muslim terbesar di negara itu. Paris melakukan ini untuk melawan ekstremisme setelah sejumlah serangan mematikan di dalam negeri. [wip]