ISLAMTODAY ID– Shamsi Ali, Direktur Jaimaica Moeslem Centre, New York mengadakan konferensi pers terkait dengan insiden kebencian dan rasisme yang terjadi pada keluarga muslim Kanada keturunan Pakistan di London, Ontario, Kanada.
Acara tersebut diadakan pada Ahad (13/6) dengan dihadiri banyak pejabat kota, termasuk kandidat terkuat Walikota New York, Eric Adam.
Konferensi pers yang juga di hadiri oleh tokoh agama dan tokoh komunitas ini berlangsung di halaman gedung Jaimaica Moeslem Centre, New York.
Beberapa hari lalu, Salman dan ketiga keluarganya secara sengaja ditabrak dengan truk pick up oleh pemuda yang diyakini membenci Islam. Hanya putra sulung Salman yang berusia 9 tahun yang selamat.
Shamsi Ali yang juga menjadi tuan rumah konferensi ini menyampaikan ajakan untuk memberantas ancaman Islamofobia.
“Dalam presentasi singkat, seperti yang sering saya sampaikan di mana-mana, saya kembali mengingatkan bahwa memerangi Islamophobia bukan sekedar isu Komunitas Muslim. Tapi isu kemanusiaan dan nilai Amerika (American value) yang sedang terusik. Dan karenanya anda tidak harus menjadi Muslim untuk memerangi Islamophobia. Anda hanya perlu jujur, baik sebagai orang Amerika dan sebagai manusia, ” ujar Shamsi Ali.
Ali menegaskan keprihatinannya terhadap reputasi AS yang menurutnya akan dicatat sejarah sebagai “bangsa pembenci dan rasis.”
“Tentu harapan saya semoga tidak demikian. Sebab Amerika yang kita kenal harusnya lebih baik dari apa yang kita saksikan akhir-akhir ini,” ujarnya.
Ia juga menegaskan asal kekuatan besar amerika bukan dari militer maupun ekonomi, namun dari kasih sayang AS dalam merangkul para imigran.
“Saya juga menekankan bahwa Amerika itu menjadi Amerika bukan karena kekuatan militernya (its military might). Bukan pula karena kekuatan ekonominya. Tapi Karena nilai-nilai agung yang selalu dipertahankannya. Satu di antaranya adalah “compassion” (kasih sayang) Amerika untuk merangkul mereka yang dianggap orang lain (the others) untuk menjadi bagian dari “kita” (we the people).”
Amerika memilki patung kokoh di New York “Lady Liberty” yang menjadi simbol kebebasan.
Kota New York, Kota Penghubung
Menurut Shamsi Ali, Kota New York menjadi jembatan yang berfungsi untuk menghubungkan baik antar kota maupun antar manusia.
Kota New York yang merupakan salah satu kota metropolitan memiliki penduduk terpadat di AS. Kota ini menjadi gerbang masuk para imigran dalam mencari kebebasan seperti yang dijanjikan Amerika.
“Untuk warga New York, kota ini menjadi kota terkuat dunia bukan karena Wall Street atau gedung-gedung pencakar langitnya. Tapi karena jembatan-jembatan (bridges) yang tidak saja menghubungkan antara bagian kota. Tapi yang terpenting juga menghubungkan di antara penduduk atau manusiannya (connecting the people). Maka mari kita terus bangun dan perkuat jembatan itu. Hancurkan dinding-dinding (walls) yang memisahkan kita semua,” ungkap Ali.
Ia mengingatkan bahwa siapapun yang merasakan ketidakadilan maka hal tersebut menjadi ketidakadilan bersama, sehingga “jangan merasa aman jika keburukan terjadi pada orang lain”.
“My fight today can be yours tomorrow” (perjuangan saya hari ini boleh jadi perjuanganmu di esok hari). Karenanya teruslah bangun kesatuan dan kerjasama melawan kebencian dan kekerasan kepada siapa saja. Seperti yang sering kita sampaikan bahwa “enough for evil to thrive when the good people do or say nothing” (kejahatan hanya akan berkembang ketika orang-orang baik diam dan tidak melakukan apa-apa). Maka mari terus suarakan resistensi kita kepada setiap kebencian dan kekerasan di negara ini.
Kebencian dan kekerasan tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh Amerika.
“Ingat, silence in front of an evil is complicit. Bahwa diamnya kita di hadapan kejahatan itu boleh jadi justeru bagian dari kejahatan itu sendiri.”
Dalam menutup orasinya, Ali mengingatkan saat ini New York dalam masa Politik Pilkada dengan mengaharapkan kandidat terpilih harus memiliki hati nurani.
“ (yaitu) kandidat yang tidak selalu melihat permasalahan masyarakat hanya dengan instink atau rasa politik. Kita menginginkan pemimpin yang mampu mengedepankan rasa kemanusiaan yang universal (common human sense) di atas kepentingan politiknya. Insya Allah!”
(Resa)