ISLAMTODAY — Lebanon kian terpuruk dalam krisis yang tak berkesudahan dimana kekurangan obat-obatan, makanan pokok, dan bahan bakar semakin memburuk bahkan dapat dikatakan mengerikan.
Pemandangan yang kian normal terlihat saat warga yang rela menghabiskan berjam-jam, kadang berhari-hari berbaris dalam antrian berharap dapat membeli makanan pokok, bahan bakar, atau obat-obatan penyelamat hidup untuk keluarga mereka.
Krisis ekonomi di Lebanon tahun ini telah mengungkapkan sejauh mana korupsi yang mengakar dan monopoli sistematis di antara elit politik yang telah terjadi ada selama lebih dari 30 tahun.
Tapi bukan hanya para politikus yang membuat rakyat sengsara namun ada juga kartel terorganisir yang membuat obat-obatan, makanan pokok dan energi kian langka dan mahal.
Mereka telah begitu lama menciptakan kekacauan mendalam dalam kehidupan warga yang berjuang untuk tetap hidup di masa-masa paling sulit ini.
Panglima perang membagi harta rampasan
Perang saudara Lebanon 1975-1990 berakhir dengan para pemimpinnya setuju untuk berbagi wilayah pengaruh dan sumber daya negara.
Para panglima perang itu mendistribusikan monopoli satu sama lain hingga akhirnya melahirkan kartel-kartel minyak yang sangat merugikan bagi Lebanon karena minyak adalah sumber pendapatan utama di negara itu.
Antara tahun 1992 dan 1998, kartel minyak mampu memonopoli impor minyak dengan mendirikan perusahaan bekerjasama dengan para elit yang telah membagi kekuasaannya tersebut.
Aliansi yang pertama kali terbentuk adalah antara Presiden kesepuluh Lebanon Elias Hrawi dan pemimpin Partai Sosialis Progresif, Walid Jumblatt pada tahun 1990-an.
Aliansi ini mengimpor minyak dan gas melalui Basatna Company, dan melalui Roland Elias Hrawi yang merupakan putra Presiden Hrawi sendiri.
Mantan Perdana Menteri Rafik Hariri pada waktu Elias menjabat Presiden juga memperkuat metode bisnis korup ini dan mendukung keberadaan kartel perusahaan, yang sebagian besar muncul selama perang saudara.
Hariri, yang berkuasa sebagai hasil dari perjanjian AS-Saudi – dan persetujuan Suriah – membuka jalan bagi kartel perusahaan-perusahaan asing untuk berkembang.
Kartel dari perusahaan-perusahaan asing ini bergabung dengan keluarga politik tradisional di bawah naungan partai politik terkemuka Lebanon.
Seperti partai Gerakan Masa Depan (keluarga Hariri), Gerakan Patriotik Bebas, Pasukan Lebanon, partai Sosialis Progresif (Walid Joumblatt) dan Gerakan Marada (Sulaiman Franjieh).
Partai-partai ini memiliki agen atau ‘pengusaha’ yang mengelola pasar minyak dan mengumpulkan rampasan dan keuntungan, yang kemudian dibagikan.
Beberapa dari perusahaan ini juga dimiliki langsung oleh orang Saudi dan Kuwait.
Saat ini, 14 perusahaan asing di Lebanon mengendalikan impor minyak dan pasar distribusi.
Mereka juga memiliki setengah dari 3.100 pompa bensin di Lebanon dan mengendalikan harga bahan bakar harian.
Perusahaan-perusahaan ini menguasai 70 persen dari produksi pasar lokal, sementara hanya ada dua perusahaan asli Lebanon yang mengambil 30 persen sisanya.
Bahkan yang luar biasa, perusahaan-perusahaan ini yang menetapkan dan mengatur harga minyak tanpa campur tangan negara.
Kartel minyak di Lebanon, dikonsolidasikan dan dilindungi di bawah undang-undang monopoli negara yang jahat, yang berasal dari kesepakatan antara perusahaan untuk berbagi pasar dan mengatur persaingan demi lindungi kepentingan bersama.
Akibatnya, kartel-kartel ini dapat menahan pasokan minyak dari pasar Lebanon, menyebabkan kekurangan yang sangat melumpuhkan seperti yang terjadi hari ini di Lebanon.
Secara historis, satu-satunya upaya yang tercatat untuk memerangi struktur monopoli terjadi selama masa jabatan 1998-2007 mantan Presiden Emile Lahoud, yang membuka catatan kartel minyak.
Sebagai hasil dari transparansi yang langka ini, Shahi Barsoumian, Menteri Energi antara 1995 dan 1998, dipenjarakan atas tuduhan menjual simpanan minyak dengan harga rendah dan membuang-buang dana publik.
Pejabat lain juga ditangkap, termasuk mantan Direktur Jenderal kementerian Nicolas Nasr dan Direktur Kilang Zahrani Khalil Qambris.
Penumpasan kartel tidak berlangsung lama.
Setelah tahun 2000, Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri lebih lanjut melegitimasi karakter monopolistik sektor ini dengan menawarkan perjanjian jangka panjang yang memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut untuk terus mengambil keuntungan dari negara.
Berikut nama-nama perusahaan minyak yang mengendalikan pasar Lebanon dan pemilik beberapa perusahaan ini:
- Uniterminals, didirikan pada tahun 1992, dimiliki oleh investor Kuwait dan Lebanon, yang menguasai 15 persen pasar minyak di Lebanon.
- Coral Oil, didirikan pada tahun 1926, dimiliki oleh keluarga Yameen yang mendukung Gerakan Patriotik Bebas. Coral Oil menguasai 14 persen dari total pangsa pasar.
- MEDCO, didirikan pada tahun 1910, memegang 11 persen pangsa pasar Lebanon.
- Cogico, didirikan pada 1986, dimiliki oleh warga negara Saudi, dan memegang 10 persen pangsa pasar.
- Total, didirikan pada tahun 1951, dimiliki oleh perusahaan Prancis dan memegang 12 persen pangsa pasar.
- Wardieh Holding, didirikan pada tahun 1922, dimiliki oleh warga negara Saudi dan memegang 9 persen dari pangsa pasar.
Dengan demikian, pemilik perusahaan-perusahaan ini sendiri adalah pedagang minyak dan merupakan kartel paling kuat di Lebanon.
Tak seorang pun, bahkan lembaga negara atau Kementerian Energi, mampu mengendalikan atau mengarahkan mereka.
Meskipun sebagian besar dari perusahaan-perusahaan ini menggunakan negara untuk menyimpan cadangan minyak namun politisi Lebanon belum menemukan cara untuk meningkatkan pangsa pasar negara, yang runtuh selama krisis negara.
Bisakah bahan bakar Iran mematahkan monopoli??
Langkah Hizbullah baru-baru ini untuk mengimpor minyak Iran melalui wilayah Suriah mungkin merupakan tanda pertama dari retaknya monopoli energi Lebanon yang terkenal kejam.
Hizbullah tidak ingin mempermalukan sekutunya, Presiden Lebanon Michel Aoun dari Gerakan Patriotik Bebas (FPM), sehingga memilih untuk membawa bahan bakar Iran melalui rute penyelundupan di perbatasan Lebanon-Suriah.
Hal ini untuk menghindari ancaman sanksi AS.
Karena Lebanon dilarang mengimpor minyak Iran, dengan ancaman sanksi AS.
Impor bahan bakar Iran melalui rute legal akan mengharuskan Hizbullah untuk mengajukan izin dari Kementerian Energi, tetapi hal itu tidak dilakukan untuk menghindari menempatkan sekutunya dan negara Lebanon dalam ancaman.
Persetujuan Menteri Energi, yang berafiliasi dengan FPM, akan membuatnya terkena sanksi AS, dan karena dia adalah anggota kabinet dari pemerintahan yang sedang menjabat, akan membuat seluruh negara hadapi ancaman yang sama.
Sebaliknya, penolakan Menteri energi tersebut untuk memberikan lisensi minyak Iran yang diimpor Hizbullah akan membuatnya malu di antara pemilihnya dan berpotensi menghambat monopoli bahan bakar di Lebanon.
Elit politik Lebanon juga memiliki alasan lain untuk menolak bahan bakar Iran: yaitu, bahwa hal itu akan mematahkan monopoli minyak kartel dan kekuatan penetapan harganya.
Seperti yang dicatat Hizbullah di awal, bahan bakar Iran akan didistribusikan ke lembaga-lembaga besar Lebanon, rumah sakit, dan warga biasa dengan harga yang lebih rendah dibanding perusahaan kartel minyak.
Kartel-kartel itu tak akan tinggal diam bila ini terjadi, mereka mungkin akan membuat situasi krisis di Lebanon kian buruk dengan menghentikan pasokan domestik dengan jumlah yang cukup untuk menciptakan kekacauan.
Ironisnya, sanksi AS terhadap Lebanon adalah ketakutan terbesar Lebanon dan Kartel perusahaan minyak asing yang mengendalikan pasar energi negara itu.
Beberapa perusahaan dipaksa untuk menyerahkan laporan ke kedutaan AS di Beirut, bahkan mereka dipaksa mengungkapkan jumlah sebenarnya dari bahan bakar yang diimpor dan area distribusi-nya.
Jadi, peran kedutaan AS juga sangatlah besar hingga mampu mendikte jumlah bahan bakar yang didistribusikan kepada rakyat Lebanon. (Rasya)