ISLAMTODAY ID-Paus Fransiskus telah menyerukan kehati-hatian dalam “interpretasi” dari laporan memberatkan yang dirilis pada bulan Oktober yang menemukan sebanyak 330.000 anak mungkin telah dilecehkan secara seksual oleh pendeta dan anggota awam Gereja Katolik di Prancis.
Paus mengatakan pada hari Senin (6/12) bahwa “situasi historis” harus dibingkai dalam konteks ketika melakukan studi yang mengeksplorasi insiden sejak beberapa dekade.
Penyelidikan di balik laporan tersebut, Komisi Independen untuk Pelecehan Seksual di Gereja (CIASE), memeriksa tuduhan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur di gereja Katolik di Prancis dari tahun 1950-an hingga tahun 2020.
Memperhatikan bahwa studi “harus memperhatikan interpretasi” yang akan “dihasilkan”, Paus mengatakan bahwa penyalahgunaan sejarah harus dilihat sesuai dengan standar waktu.
Dia memberi contoh bahwa “sikap” gereja terhadap kasus pelecehan adalah “untuk menutupinya”, tetapi mengakui bahwa ini adalah “sikap yang sayangnya masih ada hari ini di sejumlah besar keluarga”.
Pelecehan 100 tahun yang lalu, 70 tahun yang lalu, adalah kebrutalan. Namun cara yang dialami tidak sama dengan hari ini.
Komentar tersebut mendapat reaksi keras dari kelompok korban di Prancis, dengan pendiri satu asosiasi – La Parole Liberee (Freed Speech) – mengkritik “ketidaktahuan, kebodohan, dan penyangkalan” pemimpin Katolik itu.
“Ini akan menunjukkan kepada semua orang bahwa Paus berada di jantung masalah,” ujar Devaux kepada kantor berita AFP, seperti dilansir dari RT, Selasa (7/12).
Dia juga menyatakan ketidakpercayaan pada kurangnya minat Paus dalam penyelidikan.
Fransiskus pada hari Senin (6/12) mengungkapkan bahwa dia belum membaca laporan CIASE, tetapi mengatakan dia akan mendiskusikannya dengan para uskup Prancis selama kunjungan mereka yang dijadwalkan akhir bulan ini.
Pada bulan Oktober, dia telah menyatakan “rasa malu” atas nama dirinya dan Gereja Katolik atas skala pelecehan seksual yang diungkapkan oleh laporan setebal 2.500 halaman.
CIASE telah merujuk pada “selubung keheningan” di dalam gereja yang memungkinkan terjadinya pelecehan selama beberapa dekade dan memastikan bahwa para korban “tidak dipercaya, tidak didengar”.
Hal ini, katanya, memungkinkan penyalahgunaan “sistemik” untuk terus berlanjut selama beberapa dekade.
Selama 70 tahun terakhir, sekitar 216.000 anak ditemukan telah dilecehkan oleh pendeta, dengan jumlah korban yang berpotensi meningkat menjadi 330.000 ketika termasuk insiden oleh perwakilan awam gereja.
Dari total 115.000 imam dan klerus dengan gereja selama waktu itu, bukti menunjukkan sekitar 2.900 hingga 3.200 dituduh melakukan pelecehan.
(Resa/RT)