ISLAMTODAY ID-Awal tahun ini, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menggunakan hak vetonya atas aksesi Swedia dan Finlandia ke NATO untuk menyeret kedua negara itu agar mengakhiri dukungan mereka terhadap kelompok Kurdi di Turki dan Suriah yang dianggap sebagai organisasi teroris.
Setelah pertemuan puncak trilateral dengan dua negara Format Astana lainnya (Iran dan Rusia), Turki telah menuntut agar AS dan sekutu NATOnya meninggalkan Suriah timur dan mengakhiri dukungannya untuk kelompok milisi Kurdi di sana.
“Amerika harus meninggalkan timur Efrat sekarang. Ini adalah hasil yang keluar dari proses Astana,” ungkap Erdogan pada hari Rabu (20/7), menurut Anadolu Agency milik negara, seperti dilansir dari Sputniknews, Jumat (22/7).
“Türkiye mengharapkan ini juga karena Amerikalah yang memberi makan kelompok-kelompok teroris di sana,” ungkapnya.
Pernyataan tersebut merujuk pada Unit Pertahanan Rakyat (YPG), sebuah milisi Kurdi yang membentuk inti dari apa yang disebut Pasukan Demokratik Suriah (SDF) mendapat dukungan dari pasukan AS di Suriah timur sebagai kekuatan proksi untuk menolak kontrol atas wilayah kaya minyak kepada pemerintah Suriah di Damaskus.
Namun, Washington mengklaim mendukung SDF sebagai bagian dari perang melawan Daesh.
“Anda lihat staf Amerika di sana melatih anggota organisasi teroris,” lanjut Erdogan.
“Selama pelatihan ini, mereka mengibarkan bendera rezim di sana. Mengapa? Tugas mereka adalah melakukan aksi teroris terhadap tentara Turki di sana. Di sini juga, mereka pikir mereka menipu tentara Turki dengan mengibarkan bendera rezim di sana. Kami tidak akan tertipu,” tambahnya.
Pasukan Turki melintasi perbatasan Suriah ke Suriah timur pada Oktober 2019 dalam apa yang disebut Ankara sebagai Operasi Mata Air Perdamaian.
Langkah ini mendorong lebih dari 300.000 orang Kurdi dari jalur sedalam 20 mil di sepanjang perbatasan untuk menghentikan pergerakan kelompok Kurdi melintasi perbatasan.
Milisi Kurdi lainnya, Partai Pekerja Kurdistan (PKK), telah berperang melawan pemerintah Turki di Turki timur selama beberapa dekade dan bersekutu erat dengan YPG di Suriah.
PKK juga memiliki pangkalan di wilayah Kurdistan utara Irak, yang juga telah dilancarkan beberapa operasi militer oleh Ankara.
Serangan tahun 2019 menciptakan situasi yang sulit bagi AS, karena YPG telah menerima dukungan AS melalui program Train and Equip, dan pasukan Turki melewati pos perbatasan Amerika pada tahap awal serangan untuk menyerang sekutu mereka.
Turki juga sebelumnya melakukan intervensi untuk menyerang wilayah Kurdi lebih jauh ke barat yaitu di wilayah Afrin dan Manbij, pada tahun 2018, yang disebut Operasi Ranting Zaitun.
Selain itu, Turki terus mendukung kelompok-kelompok yang bersekutu dengan al-Qaeda di Idlib, pos terdepan terakhir dari Pasukan ekstremis Islam meninggalkan Suriah setelah bertahun-tahun perang saudara.
Proses Astana dibuat pada tahun 2018 sebagian besar untuk menghindari perang terbuka antara Turki dan milisi Islam di satu sisi, dan pemerintah Suriah serta sekutu Rusia dan Irannya di sisi lain.
Baru-baru ini, Erdogan telah menggunakan keanggotaan negaranya dalam aliansi NATO untuk memaksa Swedia dan Finlandia untuk menyerahkan dukungan mereka kepada kelompok-kelompok Kurdi dengan mengancam akan memveto aplikasi NATO mereka.
Kesepakatan akhirnya disepakati pada KTT NATO di Madrid pada akhir Juni, meskipun negara-negara terkait terus berdebat tentang apa yang sebenarnya disepakati di Madrid.
(Resa/Sputniknews)