ITD NEWS —Tahun lalu Kelompok 7 (G7), sebuah forum negara-negara maju Barat yang mendeklarasikan diri mereka sebagai ekonomi paling berpengaruh di dunia, menyatakan bahwa fokus mereka adalah menghukum Rusia melalui sanksi tambahan, mempersenjatai Ukraina dan menahan pertumbuhan China.
Pada saat yang sama, China menjadi tuan rumah, melalui konferensi video, pertemuan forum ekonomi BRICS.
BRICS yang anggotanya Terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, adalah kumpulan negara-negara yang d berfokus pada penguatan ikatan ekonomi, pembangunan ekonomi internasional, dan bagaimana melawan kebijakan kontra-produktif dari negara-negara G7.
Pada awal tahun 2020, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov telah memperkirakan bahwa, berdasarkan perhitungan paritas daya beli, atau Produk Domestik Bruto (PDB), yang diproyeksikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF), BRICS akan mengambil alih peran ekonomi G7 dalam hal persentase total global.
Akan tetapi saat pandemi melanda dan lambatnya pemulihan ekonomi global membuat proyeksi IMF ini diperdebatkan.
BRICS menjadi sangat fokus pada pemulihan dari pandemi dan, kemudian, mengelola dampak dari sanksi besar-besaran Barat terhadap Rusia setelah invasi negara itu ke Ukraina pada Februari 2022.
Sementara, G7 gagal mengindahkan tantangan ekonomi dari BRICS, dan malah berfokus pada memperkuat pembelaannya terhadap “tatanan internasional berbasis aturan” yang telah menjadi mantra pemerintahan Presiden AS Joe Biden.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina, perpecahan ideologis yang mencengkeram dunia, dengan satu pihak (dipimpin oleh G7) mengutuk invasi tersebut dan berusaha untuk menghukum Rusia secara ekonomi, dan pihak lainnya (dipimpin oleh BRICS) mengambil sikap tidak bergabung dalam parade sanksi Barat.
Sekarang langkah sanksi Barat telah secara luas dipercaya bahwa AS dan mitra G7-nya salah menghitung dampak sanksi terhadap ekonomi Rusia, dan malah memberikan pukulan balik yang akan menghantam Barat hingga menuju krisis ekonomi dan energi.
Angus King, senator Independen dari Maine, Jerman baru-baru ini mengamati bahwa dia ingat
“ketika ini (Sanksi Rusia) dimulai setahun yang lalu, semua pembicaraan adalah sanksi akan melumpuhkan Rusia…membuat Rusia bangkrut ..namun nyatanya sanksi sama sekali tidak berhasil…[apakah] sanksi mereka (G7) salah? Apakah sanksi tidak diterapkan dengan baik? Apakah kita meremehkan kemampuan Rusia ?”
Perlu dicatat bahwa IMF sebelumnya pernah menghitung kejatuhan ekonomi Rusia, sebagai akibat dari sanksi tersebut, dimana Moskow akan alami kejatuhan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, namun pada kenyataannya pada 2023 ekonomi Rusia malah tumbuh 2 persen saat negara Barat alami perlambatan.
Kesalahan perhitungan semacam ini telah merasuki pemikiran Barat tentang ekonomi global dan peran masing-masing yang dimainkan oleh negara-negara anggota G7.
Pada Oktober 2022, IMF menerbitkan World Economic Outlook (WEO) tahunannya, dengan fokus pada perhitungan PDB tradisional dimana IMF menghitung bahwa G7 masih bertahan kuat sebagai blok ekonomi global terkemuka.
Data positif ini mencegah analis ekonomi arus utama Barat menggali lebih dalam data yang terkandung dalam pembaruan yang dilakukan Rusia, China dan khususnya BRICS.
Namun untungnya, ada analis ekonomi seperti Richard Dias dari Acorn Macro Consulting, sebuah “firma riset makroekonomi yang menggunakan pendekatan top-down untuk analisis ekonomi global dan pasar keuangan” yang menggambarkan bahwa data IMF tidaklah tepat.
Alih-alih menerima pandangan cerah IMF, Dias melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh para analis – menggali data dan mengekstrak kesimpulan yang relevan.
Setelah menggali melalui Basis Data Outlook Ekonomi Dunia IMF, Dias melakukan analisis komparatif terhadap persentase PDB global yang disesuaikan antara G7 dan BRICS, dan membuat penemuan yang mengejutkan: BRICS telah melampaui G7.
Ini bukan proyeksi, melainkan pernyataan fakta yang dicapai oleh Dias dimana ia menyebut:
BRICS bertanggung jawab atas 31,5 persen dari PDB global, sedangkan G7 di angka 30,7 persen.
Selain itu tren yang diproyeksikan menunjukkan bahwa kesenjangan antara dua blok ekonomi akan melebar ke depannya.
Alasan percepatan akumulasi kekuatan ekonomi global di pihak BRICS ini dapat dikaitkan dengan tiga faktor utama:
- Sisa dampak dari pandemi Covid-19,
- Sanksi atas Rusia oleh negara-negara G7 menjadi pukulan balik dimana terjadi peningkatan kebencian negara-negara mitra G7 terhadap kebijakan ekonomi G7
- Prioritas G7 yang dianggap lebih berakar pada arogansi pasca-kolonial daripada keinginan tulus untuk membantu negara-negara mengembangkan potensi ekonomi mereka sendiri.
Kesenjangan Pertumbuhan BRICS & G7
Memang benar bahwa kekuatan ekonomi BRICS dan G7 masing-masing sangat dipengaruhi oleh ekonomi China dan AS. Tetapi lintasan ekonomi relatif dari negara-negara anggota lain dari forum ekonomi ini tidak dapat diabaikan.
Sementara prospek ekonomi untuk sebagian besar negara BRICS menunjukkan pertumbuhan yang kuat di tahun-tahun mendatang, negara-negara G7, sebagian besar tumbang karena luka yang diakibatkan oleh sanksi Rusia saat ini, melihat pertumbuhan yang lambat atau, di kasus Inggris, terjadi pertumbuhan negatif.
Selain itu, sementara keanggotaan G7 tetap statis, BRICS berkembang, dengan Argentina dan Iran telah mengajukan permohonan, dan kekuatan ekonomi regional utama lainnya, seperti Arab Saudi, Turki, Indonesia dan Mesir, menyatakan minat untuk bergabung.
Membuat ekspansi potensial ini semakin eksplosif adalah pencapaian diplomatik China baru-baru ini dalam menormalisasi hubungan antara Iran dan Arab Saudi.
Prospek yang semakin berkurang untuk dominasi global yang berkelanjutan oleh dolar AS, dikombinasikan dengan potensi ekonomi dari serikat ekonomi trans-Eurasia yang dipromosikan oleh Rusia dan China, menempatkan G7 dan BRICS pada lintasan yang berlawanan. (Rasya)