(IslamToday ID) – Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah menunda selama enam bulan penerbitan resmi surat penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan internasional berat, termasuk serangan genosida di Gaza. Meski langkah ini mencerminkan standar ganda, ICC sebelumnya merespons cepat kasus serupa terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin terkait Ukraina. Namun, keputusan ini tetap menjadi pukulan terhadap impunitas geopolitik dan langkah menuju akuntabilitas hukum internasional.
Keputusan ini mewajibkan 124 negara anggota ICC untuk menangkap Netanyahu dan Gallant jika mereka menginjakkan kaki di wilayah negara-negara tersebut. Namun, negara-negara non-anggota seperti AS, Rusia, China, dan Israel tidak terikat kewajiban ini. Meskipun demikian, Palestina sebagai anggota ICC memiliki kewajiban hukum untuk menangkap mereka jika mereka berada di wilayah pendudukan seperti Gaza, Tepi Barat, atau Yerusalem Timur. Namun, keberanian Otoritas Palestina untuk melakukan hal ini masih diragukan.
Penundaan penerbitan surat penangkapan oleh ICC dianggap tidak dapat dimaafkan, mengingat kondisi darurat di Gaza yang diwarnai kehancuran, kelaparan, dan penderitaan akibat blokade Israel terhadap bantuan kemanusiaan. Bantuan yang disalurkan oleh organisasi seperti UNRWA terhalang, memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Terlepas dari batasan ini, langkah ICC dianggap bersejarah karena menegaskan bahwa kejahatan internasional harus dipertanggungjawabkan, tanpa memandang kekuatan negara pelaku. Keputusan ini, yang tidak dapat dipengaruhi oleh hak veto seperti di Dewan Keamanan PBB, mencerminkan penerapan hukum internasional secara langsung dan otoritatif. Netanyahu mengecam keputusan ini sebagai “absurd” dan “antisemitisme,” serupa dengan reaksi Israel terhadap aktivitas PBB di masa lalu.
Keberhasilan surat penangkapan ini lebih terlihat pada “perang legitimasi” Palestina melawan Israel. Pengalaman dari perang anti-kolonial di abad ke-20 menunjukkan bahwa pihak yang lebih lemah secara militer sering menang melalui legitimasi hukum dan moral. Seperti dalam perang Vietnam, kekalahan militer tidak selalu menentukan hasil politik.
Israel saat ini dianggap telah kalah dalam perang legitimasi, yang berpotensi mengancam masa depan keamanan, kemakmuran, bahkan eksistensinya. Jika Palestina berhasil mencapai kemenangan, meskipun dengan harga yang sangat mahal, keputusan ICC untuk mengeluarkan surat penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant akan dikenang sebagai faktor penting dalam perjuangan mereka.[sya]