JAKARTA, (IslamToday) – Center for Innovation Policy and Governance (CIPG), sebuah kelompok peneliti, menyatakan agensi atau biro komunikasi menjadi jembatan buzzer di Indonesia dalam bekerja.
Peneliti CIPG, Klara Esti mengatakan, agensi atau biro komunikasi akan meneruskan pesan atau uang yang diberikan oleh klien kepada buzzer. “Ada perantara agensi atau biro komunikasi,” ujar Klara di Kantor YLBHI, Jakarta, Sabtu (12/10/2019).
Berdasarkan hasil penelitian CIPG tahun 2017, agensi atau biro komunikasi bertugas memantau media hingga menulis konten yang nantinya diserahkan kepada pembentuk atau penggiring opini. Agensi atau biro komunikasi juga berperan sebagai penentu tarif, peternak, dan penyedia akun untuk buzzer. “Dalam industri buzzing, agensi komunikasi memiliki peran sentral mempertemukan permintaan dan penawaran,” ujarnya seperti dikutip di CNNIndonesia.com.
Klara membeberkan buzzer terdiri dari dua jenis, yakni bekerja dalam tim dan secara individual. Jika bekerja secara tim, terdapat koordinator yang akan mengatur sejumlah buzzer. “Ada yang bekerja secara individual karena memang ‘Oh, orang ini didengar nih atau orang ini punya amplify pesan,’” ujarnya.
Lebih lanjut Klara menyampaikan, pihak di Indonesia yang menggunakan jasa buzzer adalah korporat, perusahaan, partai, atau tokoh.
Penelitian CIPG persis dengan hasil penelitian Universitas Oxford di puluhan negara, termasuk Indonesia, beberapa waktu lalu. Berbeda dengan partai atau politikus, ia menyebut korporat atau perusahaan menggunakan buzzer untuk mempromosikan produk.
“Kalau tokoh politik mau mempromosikan diri, membangun citra supaya lebih banyak orang kenal dia, lebih menambah popularitas,” ujar Klara.
Menurut Klara, Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 menjadi titik awal buzzer digunakan untuk kepentingan politik. Jauh sebelum itu, ia menyebut buzzer digunakan oleh korporat untuk mempromosikan atau menjual produknya di media sosial.
“Mulai 2012 itu sebenarnya istilah buzzer sudah santer digunakan. Hanya saja tidak ada definisi yang jelas, sebenarnya yang disebut buzzer apa sih?” ujar Klara.
Punya Jaringan Luas
Dalam penelitian, CIPG mendefinisikan buzzer sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian dan atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu.
Selain itu, buzzer pada umumnya memiliki jaringan yang luas, mampu menciptakan konten sesuai konteks, cukup persuasif, hingga digerakkan oleh motif tertentu. “Jadi buzzer itu netral aja,” ujarnya.
Di sisi lain, Klara menuturkan, buzzer terbentuk melalui dua proses, yakni secara organik dan didorong permintaan pasar. Dari proses itu, buzzer memiliki dua motif dalam bergerak, yakni komersial dan sukarela.
“Yang bayaran ini lagi ya karena kami melihat ke konteks lahirnya buzzer juga. Awalnya kan dipakai untuk promosi produk ya. Kalau yang sukarela kemudian makin ke sini ada yang dia suka dengan ideologi tertentu, kemudian ya sudah diamplifikasi pesan yang senada dengan dia,” ujar Klara.
Pola rekrutmen buzzer sendiri terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, rekrutmen buzzer dilakukan secara berjenjang. Dalam pola ini, koordinator akan mengundang buzzer yang hendak direkrut ke dalam grup Whatsapp atau Telegram. “Nanti dilihat mana yang paling aktif menanggapi lontaran informasi atau ide. Lalu diajak ketemuan untuk ditawarkan mempromosikan sesuatu,” ujar Klara.
Kedua, perekrutan buzzer dilakukan dengan cara pendekatan. Koordinantor akan melakukan pendekatan langsung ke buzzer yang banyak direspons warganet dengan tujuan untuk mempromosikan atau membahas topik tertentu.
“Ketiga, buka lowongan. Agensi atau biro komunikasi mengumumkan ada lowongan untuk menjadi buzzer produk atau isi atau topik tertentu,” ujarnya.
Klara pun menganggap buzzer perlu dipahami secara utuh sebagai bagian dari sebuah industri yang berisi beragam aktor. Pemahaman terhadap definisi dan lanskap industri buzzer akan membantu penyusunan program literasi media bagi warga dalam mengkonsumsi informasi di medsos.
“Pemahaman akan definisi dan lanskap industri buzzer juga akan membantu regulator dalam merumuskan kebijakan yang lebih efektif dalam menyasar aktivitas buzzer, terutama buzzer berbayar di masa kampanye,” ujar Klara. []