(IslamToday ID) — Peran santri dalam catatan sejarah negeri ini tidak dapat dianggap remeh. Bahkan, santri menjadi garda depan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Salah satu tokoh, yang menjadi kunci bangkitnya semangat perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan adalah KH. Hasyim Asy’ari.
Tokoh pendiri Pendiri Nahdotul Ulama (NU) ini mengeluarkan gagasan hebat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, meskipun kemerdekaan RI telah di-proklamirkan pada 17 Agustus 1945, penjajahan masih mengintai Indonesia. Di tengah ancaman ini 17 September 1945 Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah ‘Fatwa Jihad‘ yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fi sabilillah. Fatwa inilah yang kemudian mendorong munculnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
Fatwa dan Resolusi Jihad ini mengingkatkan kita pada Perang Aceh, atau yang lebih akrab dengan sebutan Perang Sabil. Perang Sabil menjadi perang paling melelahkan yang dialami Belanda. Hikayat Perang Sabil menjadi oase yang membangkitkan keberanian untuk melawan kape-kape Belanda, yang mencoba merebut kedaulatan Aceh.
Penjajah
Nyaris saja kita keluar dari mulut singa lalu masuk ke mulut buaya. Betapa tidak, setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, pada akhir September 1945 Tentara Inggris sudah mendarat di Jakarta. Mereka menduduki ibukota atas nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pada pertengahan Oktober 1945, pasukan Jepang merebut kembali beberapa kota Jawa yang telah jatuh ke tangan Indonesia dan kemudian menyerahkannya kepada Inggris. Demikian juga di Surabaya, pada 25 Oktober 1945 kedatangan pasukan Inggris menjadi mimpi buruk setelah kabar kemerdekaan didengar.
Kekhwatiran terhadap upaya penjajahan kembali oleh Belanda yang membonceng NICA. Kondisi yang demikian disadari betul tokoh-tokoh umat Islam, termasuk NU. Penjajahan meninggalkan luka yang mendalam, sebab penjajahan bukan hanya pada sisi sosial, ekonomi, dan pemerintahan, namun juga pengekangan pada ibadah dan aktifitas dakwah. Sudah tidak terhitung pula berapa nyawa yang direnggut selama penjajahan.
Namun, Pemerintah Republik Indonesia tampak pasif. Bahkan, ketika bendera belanda dikibarkan lagi di Jakarta, mungkin para pemangku kepentingan di pemerintahan saat itu mengharapkan adanya penyelesaian secara diplomatik. Dengan maksud untuk tetap merdeka tanpa tetesan darah. Padahal, Pendaratan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di Indonesia memicu kemarahan rakyat Indonesia yang tidak rela untuk dijajah kembali oleh Belanda. Letupan demi letupan konflik tidak dapat dihindarkan.
Hal inilah yang membuat KH. Hasyim Asy’ari mengambil langkah strategis. Beliau bergegas mengundang konsul-konsul NU se jawa dan Madura. 21 Oktober 1945, para konsul-konsul NU hadir Di kantor Hofdsbestuur Nahdlatul Ulama di Jalan Bubutan VI No. 2 Surabaya. KH. Hasyim Asy’ari bersama para konsul NU berkhitmad membahas situasi perjuangan dan upaya mempertahankan kemerdekaan yang baru sesaat diproklamasikan.
Tepat pada 22 Oktober 1945, NU melahirkan keputusan hebat yang berdampak besar dalam sejarah perjuangan bangsa, yakni Resolusi Jihad. Resolusi Jihad ini sekaligus menguatkan fatwa jihad yang sebelumnya dikumandangkan Rais Akbar NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari pada 17 September 1945. Resolusi Jihad, merupakan kebulatan tekad yang isinya mewajibkan kepada seluruh umat Islam baik laki-laki maupun perempuan untuk mengangkat senjata melawan kolonialisme dan imperialisme yang mengancam agama dan negara.
Resolusi Jihad yang difatwakan oleh K.H. Hasyim Asy`ari, yakni:
- Kemerdekaan Indonesia yang relah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 harus dipertahankan.
- Pemerintah RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dipertahankan dengan harta maupun jiwa.
- Musuh-musuh Indonesia, khususnya orang-orang Belanda yang kembali ke Indonesia dengan menumpang pasukan Sekutu (Inggris), sangat mungkin ingin menjajah kembali bangsa Indonesia setelah Jepang ditaklukkan.
- Umat Islam, khususnya warga NU, harus siap bertempur melawan Belanda dan sekutu mereka yang berusaha untuk menguasai Indonesia kembali. Kewajiban jihad merupakan keharusan bagi setiap Muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer (sama jaraknya dengan qashar, di mana meringkas shalat boleh ditunaikan oleh Muslim santri).
Martin van Bruinessen dalam buku NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru mengatakan Fatwa resolusi jihad K.H. Hasyim Asy’ari menunjukkan perhatian besar terhadap kepentingan situasi sehingga dibutuhkan fatwa untuk melegitimasi konfrontasi fisik dari sisi ajaran Islam. Resolusi Jihad sekaligus kritik tidak langsung terhadap sikap pasif Pemerintah Repubik.
Muktamar NU di Purwokerto 26-29 Maret 1946 juga mempertegas Resolusi Jihad yang telah di keluarkan NU. Sebagaimana ditulis Gugun El-Guyani dalam Resolusi Jihad Paling Syar’i, setidaknya Muktamar NU di Purwokerto menelurkan empat poin penting, yakni
- Perang menolak penjajah dan para pembantunya adalah wajib `ain atas tiap-tiap jiwa, baik laki-laki atau perempuan, juga anak-anak, yang semuanya berada di satu tempat yang dimasuki oleh mereka (penjajah dan pembantunya).
- Wajib ‘ain pula atas tiap-tiap jiwa yang berada dalam tempat yang jaraknya kurang dan 94 km dan tempat yang dimasuki mereka (penjajah).
- Wajib kifayah atas segenap orang yang berada di tempat-tempat yang jaraknya 94 km dari tempat tersebut.
- Jikalau jiwa-jiwa yang tersebut da!am nomor 1 dan 2 di atas tidak mencukupi untuk melawannya, maka jiwa yang tersebut di dalam nomor 3 wajib membantu sampai cukup.
Muhammad Rijal Fadhli dalam KH. Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad Dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945 mengatakan munculnya Resolusi Jihad tidak lepas dari pandangan KH. Hasyim Asy’ari terhadap Islam dan kenegaraan. Dalam pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mempertahankan mempertahankan eksistensi negara dari segala hal yang mengancamnya wajib dilakukan oleh umat Islam. Ini bukan semata-mata atas nama nasionalisme, namun untuk keberlangsungan kehidupan umat Islam yang berdiam di negara tersebut. Pikiran ini ditegaskan pidatonya yang disampaikan pada Muktamar NU ke-XVI di Purwekorto 26-29 Maret 1946. KH. Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan.
“Dengan kata lain, syariat Islam tidak akan bisa dilaksanakan di negeri yang terjajah,” ujarnya
Dampak
Bagai air bah, Resolusi Jihad menyebar dengan cepat keseluruh penjuru Jawa melalui jaringan pesantren, langgar, dan para kiai. Berbondong bondong, para santri memperkuat barisan Laskar Hizbullah, sementara para kiai membentuk Laskar Sabilillah, karena dibakar oleh semangat jihad.
Resolusi Jihad memberi dampak signifikan terhadap pembentukan laskar-laskar jihad terutama menjelang perang 10 November 1945. Resolusi Jihad telah membangkitkan kesadaran, bahwa dalam kondisi negara yang belum siap berperang secara militer, maka tanggung jawab perjuangan ada di pundak rakyat.
“Resolusi Jihad ini mempunyai peran yang besar dalam pertempuran 10 November 1945 yang pecah di Surabaya,” ujar Hairus Salim dalam karyanya Kelompok Paramiliter NU.
Oleh karena itu, dalam kondisi militer suatu negara yang belum kuat, Resolusi Jihad telah mengisi kekosongan peran militer, yakni dengan keberadaan Laskar Hizbullah dan Sabilillah, Terlebih lagi upaya pendudukan kembali oleh Belanda dengan tampilnya Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah, berkontribusi besar melahirkan tentara nasional.
“Tanpa laskar-laskar tersebut, yang terkomando dalam resolusi jihad untuk mempertahankan kemerdekaan, rekruitmen tentara nasional akan mengalami kesulitan,” ujar Gugun El Guyanie.
Penulis: Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza
Sumber
Rifa`i, Muhammad. 2009. KH. Hasyim Asy’ari Biografi singkat 1871-1947. Yogyakarta: Garasi
El-Guyanie, Gugun. 2010. Resolusi Jihad Paling Syar’i. Yogyakarta: LKiS
Salim, Hairus. 2004. Kelompok Paramiliter NU. Yogyakarta: LKiS
Bruinessen, Martin Van. 1999. NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru.
Yogyakarta: LKiS