JAKARTA, (IslamToday ID) – Peneliti
Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA)
Harits Abu Ulya mempertanyakan terminologi radikalisme yang masif dihembuskan
oleh pemerintahan Jokowi. Ia meminta pemerintah menjelaskan definisi
radikalisme secara jelas, terukur, dan menyampaikan hal itu kepada masyarakat.
“Jadi kita perlu tanyakan kepada rezim Jokowi. Apa
radikalisme itu? Apa tolok ukurnya? Siapa yang punya otoritas merumuskan
definisi terminologi itu? Siapa pihak yang dianggap radikal? Sejauh mana
bahayanya saat ini?” ujar Harits, Rabu (30/10/2019).
Kemudian, pemerintah juga diminta jujur akan ancaman aktual
yang dihadapi Indonesia saat ini. Padahal Indonesia mempunyai Badan Intelijen
Negara (BIN), Intelijen dan Keamanan (Intelkam), Badan Intelijen Strategis
(Bais), serta unsur intelijen lainnya.
Menurut Harits, satuan intelijen itu pasti
memiliki analisis mengenai ancaman dengan segala levelnya terhadap negara.
Sehingga, jangan sampai rakyat ramai-ramai diprovokasi pemerintah untuk
menghadapi musuh imaginatif atau ancaman asumtif terhadap isu radikalisme.
“Rakyat hari ini sikapnya kritis, dan membaca di balik
ngototnya pemerintah mengusung proyek deradikalisasi itu untuk menutupi susuatu
yang jauh lebih besar dan urgen,” ungkapnya.
Harits menambahkan, lebih bahaya lagi jika soal radikalisme
itu tendensinya kepada Islam dan umatnya. Seharusnya pemerintah bersikap bijak
terhadap perbedaan atau keragaman di ruang demokrasi dengan mengedepankan nalar
sehat.
Pendapat yang hampir sama juga diungkapkan oleh
pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian sekaligus analis terorisme, Noor Huda
Ismail. Ia menyebut definisi radikalisme tergantung pada penguasa negara itu
sendiri. Akan tetapi, ia mengingatkan bahwa tindakan-tindakan negara yang
berlebihan justru akan menciptakan musuh-musuh baru.
“Definisi itu tergantung pada penguasa. Radikalisme itu
memang ada dan negara harus serius menghadapinya,” ujar Noor.
Ia mengatakan, radikalisme itu relatif di setiap negara.
Contohnya, mengkritik negara biasa terjadi di Amerika, tetapi menjadi tindakan
radikal di Korea Utara.
Noor pun melihat radikalisme secara definisi
menjadi problematik. Dengan begitu, pemerintah harus jelas dalam memilih siapa
kelompok radikalisme yang perlu dilawan itu. Menurutnya, memahami
radikalisme itu seperti bull’s eye atau lingkaran target sasaran yang melingkar-lingkar.
Bagaimana dengan Indonesia?
“Yang paling utama ya kelompok yang ingin melakukan aksi
terorisme, seperti ISIS harı ini. Di Indonesia, kelompok ini berafiliasi kepada
JAD, Jamaah Anshorut Daulah,” kata Noor. (wip)
Sumber: Republika