JAKARTA, (IslamToday ID) – Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia
(Hakordia) 2019 yang jatuh setiap 9 Desember, ternyata masih menyisakan
sejumlah persoalan tersendiri. Cita-cita reformasi 1998 untuk
memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) nyaris kandas. Pasalnya,
negara dibuat merugi hingga Rp 200 triliun setiap tahun akibat dikorupsi.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif
Center for Social Political Economic and Law Studies (Cespels) Ubedilah Badrun
dalam diskusi bertajuk “Reformasi Dikorupsi?” di Matraman, Jakarta Timur, Senin
(9/12/2019).
Ubed mengatakan, Rp 200 triliun per tahun itu sebagaimana hasil penelitian Prof Soemitro yang menyebut 30 persen dari APBN dikorupsi. “APBN itu jumlahnya Rp 2.300 triliun. Kalau asumsi Prof Soemtirto itu benar 30 persennya dikorupsi. Itu artinya Rp 200 triliun lebih dikorupsi itu setiap tahun,” ungkapnya.
Menurut Ubed,
ratusan triliun uang negara yang dikorupsi itu seolah mempertegas data KPK yang
per tahunnya menangani sekitar 600 kasus tindak pidana korupsi (tipikor).
“Datanya adalah sampai hari ini hampir 600 kasus korupsi,” ujar dosen
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini.
Tidak hanya itu, Ubed justru menyesalkan perilaku korup
didominasi oleh para elite politik dan birokrat. Ia mencontohkan beberapa kasus
yang ditangani lembaga antirasuah seperti kasus KTP elektronik dan kasus PLTU
Riau-1.
“61 persen praktik
korupsi itu dilakukan oleh para politisi dan birokrat. Maka jawabannya adalah
benar bahwa reformasi dikorupsi. Korupsi harus ditolak,” pungkasnya.
Selain Ubed, turut hadir sebagai narasumber diskusi yakni aktivis
HAM, Haris Azhar. Haris berpendapat agenda pemberantasan korupsi di Indonesia
telah memasuki “masa pembusukan” seiring berlakunya UU No 19/2019 tentang KPK. Hal itu diperparah dengan isu-isu hak asasi manusia yang kerap diabaikan
oleh pemerintah.
“Jadi, kalau saya menyebutnya sebagai masa-masa
pembusukan,” kata Haris.
Menurutnya, UU KPK yang baru itu berpotensi
menyuburkan praktik-praktik korupsi di Indonesia. Dalam aturan UU No 19/2019 soal
penyadapan harus izin hingga dibentuknya Dewan Pengawas KPK oleh presiden
semakin menjawab kekhawatiran publik terhadap pelemahan KPK.
“Jadi kewenangan ngerampok
duit negaranya itu tambah masif. Dan sebagaimana keyakinan atau iman demokrasi
kita ini, kita akan mengatakan bahwa makin masifnya dan makin buruknya
perampokan itu,” tegasnya.
Lebih lanjut, mantan
Koordinator KontraS itu juga mengaku pesimistis dengan komitmen Presiden Jokowi
pada agenda pemberantasan korupsi di Tanah Air. Terutama, sikap ketidaktegasan
Jokowi menyikapi desakan publik terhadap UU KPK yang baru.
“Kalau lihat revisi UU yang baru KPK malah tambah lemah.
Apalagi paket pimpinan baru tidak menunjukkan optimisme. Jokowi juga plantat-plintut dalam kritik publik
terhadap pelemahan KPK. Jadi untuk pemberantasan korupsi ke depan akan semakin
lemah,” pungkas Haris. (wip)
Sumber: Rmol.id