JAKARTA, (IslamToday ID) – Ketua Lembaga Kerja Sama dan Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah KH Muhyiddin Junaidi hadir dalam diskusi bertajuk “Mengungkap Pelanggaran HAM Terhadap Uighur” yang digelar oleh Forum Jurnalis Muslim (Forjim) di Jakarta, Jumat (20/12/2019).
Muhyiddin menceritakan sejumlah kejanggalan dalam perjalanannya saat memimpin rombongan ormas mengunjungi Xinjiang, China pada pertengahan Februari 2019 lalu. Salah satu daerah yang dikunjungi adalah Urumqi, Xinjiang.
“Saat di hotel saya agak curiga karena tanda kiblat di kamarnya tidak lazim seperti biasanya, ukurannya besar dan seperti baru ditempel,” ungkapnya.
Kemudian, katanya, saat ada tiga orang wartawan yang juga bagian dari rombongan hendak mencari rokok karena kedinginan, tuan rumah melarangnya keluar. Rokok bahkan dengan koreknya telah disediakan agar tidak keluar hotel.
“Esok paginya saya ajak untuk salat Subuh berjamaah, tapi ditolak dengan alasan dingin dan jauh masjidnya. Salat zuhur juga demikian. Dan hari berikutnya kita dibawa ke museum yang isinya seputar tindakan kekerasan. Gedungnya besar, isinya gambar-gambar seputar terorisme. Dan singkatnya, isinya seolah-olah pelakunya orang Uighur,” kata Muhyiddin.
Selama mengunjungi Xinjiang, Muhyiddin mengaku tidak diajak ke kamp konsentrasi. Menurutnya, ada dua jenis kamp. Mereka yang busananya berwarna merah berarti yang menjalani re-edukasi. Sementara mereka yang berbusana biru adalah kamp konsentrasi. “Sangat naif kalau kami diperlihatkan orang disiksa,” katanya.
Muhyiddin juga mengungkap selama berkunjung ke China, dirinya sangat sulit untuk bergerak. Tidak ada akses untuk berkomunikasi dengan penduduk lokal.
“Tidak mungkin. Di sana juga tidak ada pesantren. Kalau ada yang bilang ada pesantren, apalagi jumlah santrinya ribuan, jangan-jangan mimpi dia,” katanya sembari tertawa menyindir seseorang ustaz di Indonesia yang mengatakan di Xinjiang ada pesantren dengan ribuan santri.
Saat memasuki hari Jumat, lanjut alumni Libya itu, mereka diajak ke masjid pada menit-menit terakhir jelang pelaksanaan salat Jumat. Sesampainya di masjid, ia mengaku tak melihat anak-anak dan anak muda. “Saya lihat orang tua, yang muda-muda bekerja. Yang di kantor tak boleh salat di ruang publik,” ungkapnya.
Selidik punya selidik, kata Muhyidin, ternyata demikianlah konstitusi China. Konstitusi China berbeda dengan Indonesia.
“Dan ternyata dalam konstitusi mereka itu, pemerintah membebaskan warganya untuk beragama dan tidak beragama. Akan tetapi agama hanya bisa dipraktikkan di ruang tertutup, sementara di ruang terbuka tidak boleh, misalnya pakai jilbab ke luar itu dianggap radikal,” tuturnya.
Muhyiddin menuturkan, dalam kontitusi China dikatakan orang tua tidak boleh mengajarkan anak masalah agama kecuali setelah berumur 18 tahun. Kalau ketahuan mengajarkan agama dibawah itu, maka tergolong radikal dan akan dibawa ke re-education center.
“Selama di sana akan di-brainwash, selama mengikuti training tidak boleh ritual ibadah. Kalau delapan bulan ditraining, selama delapan bulan itu tidak boleh salat, baca Alquran, tidak boleh puasa kalau masuk Ramadan,” tambah Muhyiddin.
Ia menilai, di negeri China sedang terjadi deagamaisasi. “Komunisme menganggap agama itu sampah masyarakat,” jelasnya.
Setelah pulang ke Indonesia, Muhyidin mengaku menemui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Kepada Menlu, ia meminta agar Dubes China dipanggil. Ia ingin muslim Uighur diberikan kebebasan beribadah, beragama, tanpa harus dibatasi.
“Tolong sampaikan ke Dubes ini permintaan kami. Berikan kebebasan umat Islam Uighur untuk bebas beragama. Apakah sudah dilaksanakan, wallahu a’lam,” ungkapnya. (wip)
Sumber: Swamedium.com