JAKARTA, (IslamToday ID) – Institute for Development of Economics
and Finance (INDEF) menilai Indonesia harus bersiap mengantisipasi ketegangan
antara Amerika Serikat (AS) dengan Iran. Ketegangan antara AS dan Iran ini
dapat menambah beban laju pertumbuhan ekonomi nasional.
“Tentu ketidakpastian
global itu mempengaruhi ekonomi kita. Investor yang tadinya ingin melakukan
ekspansi bisnis ke dalam negeri menjadi wait and see. Indonesia harus
bersiap menerima ketidakpastian baru,” ujar Peneliti INDEF Rusli Abdullah, Rabu (8/1/2020).
Menurutnya, konflik AS-Iran dapat menjadi perang
terbuka di kawasan Timur Tengah yang akhirnya mendorong harga komoditas,
terutama minyak dunia melonjak. Harga minyak yang melonjak dapat menjadi
tantangan di tengah usaha pemerintah untuk memperkecil defisit pada neraca
perdagangan dan transaksi berjalan.
Tercatat, harga minyak mentah berjangka jenis Brent di angka
68,44 dolar AS per barel. Sedangkan harga minyak mentah jenis West Texas
Intermediate sebesar 62,89 dolar AS per barel.
Sementara itu dalam APBN 2020, harga minyak mentah Indonesia
(ICP) diasumsikan sebesar 63 dolar AS per barel. “Harga minyak saat
ini relatif masih kondusif, namun jika konflik berlarut-larut diperkirakan
dapat mencapai 70-80 dolar AS per barel, dikhawatirkan dapat membebani APBN,” kata Rusli.
Ia mengatakan efek domino dari meningkatnya harga minyak
yakni kenaikan inflasi 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. “Setelah kenaikan
minyak, imbasnya akan mempengaruhi harga BBM di dalam negeri yang akhirnya
berdampak pada biaya logistik dan transportasi, kemudian berdampak juga pada harga
bahan pokok. Pada akhirnya dapat mendorong inflasi,” jelasnya.
Dalam rangka menjaga pertumbuhan ekonomi nasional, Rusli
menyarankan agar bauran kebijakan pemerintah untuk dikaji kembali. Pemerintah
harus fokus tetap menjaga daya beli masyarakat untuk tetap baik. Menjaga daya beli masyarakat itu dalam rangka menopang perekonomian nasional di tengah konflik AS-Iran.
Rusli memprediksi pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah sebesar 5,3 persen diperkirakan cukup berat di tengah sentimen global yang kurang mendukung. “Konflik AS-Iran dan perang dagang AS-China membuat pertumbuhan ekonomi 5 persen diperkirakan cukup berat. INDEF memprediksi bisa menuju 4,8 persen jika konflik-konflik itu terus berlanjut,” ucapnya.
Rusli mengatakan dalam rangka menopang perekonomian tetap tumbuh dan terjaga, pemerintah harus dapat lebih mempermudah investasi yang masuk ke dalam negeri. “Selain menjaga daya beli masyarakat, pemerintah diharapkan memberi kemudahan investasi masuk,” katanya.
Rusli juga mengatakan bahwa di tengah ketidakpastian global itu, masyarakat atau investor di pasar keuangan diimbau untuk lebih berhati-hati dalam menentukan pilihannya. “Investasi logam mulia atau emas dinilai paling baik saat ini untuk menjaga nilai aset,” katanya.
Selain itu, surat berharga negara (SBN) juga masih cukup menjanjikan, baik dari sisi keamanan maupun dalam memberikan imbal hasil. “Hal itu dikarenakan ada garansi dari pemerintah,” katanya.
Sementara investasi di pasar modal, Rusli menyarankan agar investor memilih saham-saham perusahaan di sektor konsumer, seperti makanan dan minuman. “Di tengah gejolak, permintaan tetap akan kuat,” pungkasnya. (wip)
Sumber: Republika.co.id