(IslamToday ID) — Tahun 2020 baru berjalan dalam hitungan belasan hari, kinerja lembaga negara tengah disorot oleh publik. Termasuk lembaga anti suap dan korupsi KPK. Khususnya KPK periode 2019-2023 dibawah pimpinan Komjen Firli Bahuri.
Periode kepemimpinan Firli sejak awal dilantik pada 20 Desember 2019, membuat rakyat kurang mempercayai kredibilitas KPK. Hal ini bermula sejak sosok Firli resmi ditetapkan sebagai Ketua KPK. Penyebabnya ialah rekam jejak Firli yang terlibat pelanggaran kode etik berat semasa dirinya masih menjabat Direktur Penindakan KPK pada tahun 2018.
Masyarakat tiba-tiba kita dikejutkan oleh aksi Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada tanggal 8 Januari 2020. OTT awal tahun ini seolah hendak membuktikan kepada kita semua jika KPK masih tetap berani melakukan aksi pemberantasan korupsi meskipun UU No. 30 Tahun 2002 telah direvisi. Namun, OTT terhadap Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah dan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan bukanlah hasil kerja cepat KPK era Firli yang baru berumur tiga pekan.
Usut punya usut OTT tersebut juga belum mendapatkan izin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK alias OTT ilegal. Fakta lainnya ialah kasus OTT terhadap Saiful Ilah dan Wahyu Setiawan sudah lama masuk dalam penyelidikan KPK, era KPK Agus Rahardjo. Apakah klaim KPK tetap kuat pada era Firli sudah bisa dibuktikan? Sepertinya terlalu cepat untuk menyimpulkan bahwa KPK masih bernyali untuk memberantas korupsi. Sementara pada kasus yang menyeret nama Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, KPK justru gagal melakukan penggeledahan kantor PDIP, Ketua KPK Firli Bahuri sempat menghilang dari publik ketika peristiwa tersebut terjadi.
Kegaduhan pengungkapan kasus ini efek dari direvisinya UU KPK pasal 37 B ayat 1 yang mewajibkan KPK menunggu ijin dari Dewas. Sementara itu kinerja KPK kini masih terhambat oleh belum adanya mekanisme kerja Dewas KPK.
Sangat ironis dan menggelikan jika setingkat lembaga negara mekanisme kerjanya dilakukan hanya berdasarkan intruksi lisan atau pesan singkat di WA atas nama Dewas.
Terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK memperkuat tudingan lembaga ini akan tunduk pada kepentingan elit politik tertentu. Belum lagi kabar kedekatan Firli Bahuri dengan Megawati, justru memperburuk citra KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi. Kasus yang menjerat kader PDIP misalnya, membuat aksi penggeledahan gagal dilakukan. Normalnya aksi penggeledahan kantor PDIP bisa dilakukan tim KPK, kurang dari 1 X 24 jam pasca OTT. Muncullah berbagai alasan penyebab gagalnya aksi penggeledahan Kantor PDIP, dampaknya barang bukti bisa saja raib entah ke mana.
Di sisi lain, PDIP menjadi partai terbanyak menyumbang kadernya masuk dalam jeratan KPK. Data ICW mengungkapkan pada tahun 2002-2017 dari 341 kasus, 120 kasus korupsi dilakukan oleh kader PDIP. Rilis ICW menyebutkan bahwa pada periode 2002-2014, PDIP memperoleh skor tertinggi kasus korupsi yakni 7,7. Hal tersebut merupakan data korupsi yang dilakukan oleh PDIP ketika dirinya masih berstatus sebagai oposisi pemerintahan, sementara kini PDIP tengah berkuasa tentu bukan tidak mungkin lebih ‘terseret’ berbagai ‘dugaan’ aksi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Gagalnya aksi penangkapan terhadap Hasto dan penggeledahan Kantor PDIP sebagai bukti jika aksi pelemahan KPK telah sukses dilakukan. Kondisi KPK cenderung melemah dan tak berdaya tentu menguntungkan para koruptor untuk beraksi lebih masif lagi. Mungkinkah revisi terhadap UU KPK No. 30 Tahun 2002 yang sudah diganti dengan UU No. 19 Tahun 2019 bisa dilakukan judicial review? Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi penentu jika kita ingin memperkuat KPK kembali. Karena UU No. 30 Tahun 2002 dinilai lebih efektif dan sudah terbukti hasilnya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Revisi UU KPK sudah berjalan dan sudah disahkan pula. Kebijakan ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Presiden Jokowi dan mantan Wapres Jusuf Kalla. Presiden Jokowi pun menyetujui revisi UU KPK dengan dalih UU KPK sudah 17 tahun lamanya dan perlu disempurnakan. Namun rupanya kebijakan tersebut meuai aksi protes dengan mendesak Presiden Jokowi menerbitkan Perpu KPK.
UU KPK yang baru, mulai dilaksanakan pada kepengurusan KPK periode 2019-2023. Presiden Jokowi diminta segera menerbitkan Perpu No. 19 Tahun 2019 terutama untuk situasi penting dan mendesak sesuai aturan yang berlaku.
Lalu, apakah penggeledahan atas OTT KPK kemarin bukan hal yang penting dan mendesak? Pada tahap inilah komitmen pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin diuji perihal keseriusannya memberantas korupsi.
Mengingat efektivitas kerja KPK justru melemah pasca UU KPK yang baru dipraktikkan. Hal ini disebabkan oleh belum adanya mekanisme kerja Dewas yang sebelumnya dijanjikan akan mampu memperkuat KPK.
Sudah semestinya KPK bisa kembali tampil sebagai lembaga ‘superbodi’, yang berani menindak siapa saja pejabat negara yang melakukan korupsi. Hal ini untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan negara yang bersih dan bermartabat. KPK sejak awal didirikan merupakan lembaga independen, terpisah dari eksekutif maupun yudikatif dengan tujuan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Artinya KPK memiliki hak istimewa untuk tidak diintervensi oleh presiden, legistlatif maupun kekuasaan kehakiman.
Penulis: Kukuh Subekti