MALANG, (IslamToday ID) – Remaja pembunuh begal di Kabupaten Malang, ZA (17) akhirnya hanya dituntut hukuman setahun pembinaan di pondok pesantren (ponpes). Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa ZA dengan hukuman penjara seumur hidup.
Pesantren yang dipilih JPU yaitu Darul Aitam di Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Hal itu disampaikan JPU Kristiawan dalam persidangan. JPU menuntut ZA dengan pasal 351 KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian. Namun tuntutannya berupa hukuman pembinaan, karena ZA belum genap berusia 18 tahun atau belum dewasa.
Dalam sidang yang berlangsung sekitar 10 menit itu, JPU menyampaikan bahwa dari serangkaian keterangan sidang, pasal yang awalnya disangkakan, tidak bisa dibuktikan. Hanya saja JPU enggan berkomentar panjang lebar saat diwawancarai usai sidang. “Langsung (wawancara) Kasie Pidum saja,” kata Kristiawan.
Penasehat hukum ZA, Bakti Riza Hidayat membenarkan bahwa jalannya sidang berlangsung tenang. Dan ZA dituntut setahun pembinaan di pondok pesantren. “Pasal 340 KUHP, pasal 338 KUHP, tidak terbukti dalam persidangan. Namun jaksa masih ingin membuktikan pasal 351 KUHP ayat 3 yang ancamannya tujuh tahun, tapi jaksa ingin hukumannya berupa pembinaan,” katanya.
Menurut Bakti, pihaknya tetap akan membacakan pledoi dalam persidangan Rabu (22/1/2020). Menurutnya, pasal 351 KUHP dalam tuntutan jaksa harus disambungkan dengan pasal 49 ayat 1 dan 2. Yaitu pasal yang menerangkan adanya unsur pembenar dan pemaaf. “Pada ibu hakim yang mulia, kami tetap akan menanggapi tuntutan jaksa di sidang pledoi,” terangnya.
Sementara itu, Ombudsman RI
menyoroti penanganan kasus pelajar yang membunuh begal tersebut. Anggota Ombudsman RI, Adrianus Meliala
menilai adanya indikasi “buang badan” yang dilakukan kepolisian
dan kejaksaan dalam menangani kasus itu.
“Maka kami
berpendapat bahwa ketika kemudian kasus ini dibawa ke kejaksaan, dan kejaksaan
juga begitu, tidak mau pusing-pusing kemudian membuat suatu pasal berlapis,
optimal juga. Kami melihat ada indikasi buang badan ini, polisi tidak berani
ambil risiko menghadapi dilema tadi. Jaksa juga tidak berani mengambil risiko
dilema tadi dan sama-sama buang badan ke pengadilan,” katanya di Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Adrianus menilai
aksi buang badan itu lantaran adanya dilema kala menangani kasus tersebut.
Dilema yang dimaksud adalah pelaku yang masih di bawah umur. Selain itu juga
karena pembunuhan dilakukan lantaran membela diri.
“Teman-teman
sekalian, dalam hal ini
kepolisian dan kejaksaan
tampaknya berada posisi dilema, yakni pada posisi pelakunya adalah anak-anak masih pelajar, juga benar
berada di situasi membela diri yang kemudian kepadanya dapat dikenakan dalil
pembelaan terpaksa. Namun juga di pihak lain dilema ini terdapat situasi dimana
siswa sudah membunuh, sudah menghilangkan nyawa orang lain, dan juga yang
bersangkutan membawa senjata tajam,” tuturnya.
Menurutnya, polisi dan kejaksaan enggan mengambil risiko kala menghadapi dilema itu.
Padahal, baik polisi maupun kejaksaan memiliki ruang penanganan.
“Dalam masa penyelidikan maka sebetulnya tersedia waktu yang cukup bagi
kepolisian untuk memproses, memastikan apa benar dapat dikenakan
dalil pidana kepadanya. Untuk itu, maka kepolisian tidak usah bekerja
sendiri, bisa memanggil ahli untuk kemudian memperjelas proses perkara. Juga
karena dalam ini tersangka adalah anak-anak maka harus disidik oleh penyidik
yang telah terkualifikasi untuk itu,” kata Adrianus.
Keengganan menghadapi dilema itulah yang menurut Adrianus membuat polisi dan jaksa “buang badan”. Menurutnya, keduanya ingin melimpahkan dilema tersebut kepada pengadilan. (wip)
Sumber: Kumparan.com, Detik.com