JAKARTA, (IslamToday ID) – Warga negara Indonesia (WNI) di Rojava, Suriah, Aleeyah Mujahid (bukan nama sebenarnya) mengaku bersedia mengikuti program deradikalisasi jika bisa kembali ke Tanah Air. Ia bergabung dengan ISIS sejak tahun 2015 bersama suaminya.
“Karena program deradikalisasi itu merupakan salah satu tahap untuk saya bisa pulang ke keluarga, ya tentu enggak keberatan karena enggak bisa langsung lompat jauh,” kata Aleeyah, Rabu (5/2/2020).
Wanita berusia 25 tahun asal Jakarta itu mengatakan akan kooperatif dengan program pemerintah jika proses pemulangannya berjalan lancar. Ia yakin program deradikalisasi itu tidak akan bertolak belakang dengan ajaran Islam.
Aleeyah masuk ke Suriah bergabung dengan ISIS melalui Turki. Niatnya ke sana untuk mencari kehidupan lebih baik. Bukan soal ekonomi, tetapi keselamatan agama. Ia ingin tinggal bersama umat muslim dari seluruh penjuru dunia dan rela diatur hukum Islam berdasarkan Alquran dan Sunah.
Beberapa bulan menetap di sana, Aleeyah mulai melihat kebobrokan ISIS, terutama setelah kejatuhan Mosul pada akhir Oktober-awal November 2016. Berdasarkan pengalamannya, bergabung dengan ISIS sama seperti terlibat dalam sebuah kelompok gangster atau mafia bertopeng Islam. “Pas lo mau keluar, susah. They will never leave you alone,” katanya.
Ketika ISIS mulai digempur habis-habisan pada 2017, Aleeyah dan anaknya pun dibawa ke kamp pengungsian hingga berakhir di kamp Rojava. Selama lebih dari 2 tahun ia berdoa dan berharap untuk bisa pulang ke Indonesia. Jika mendapat kesempatan kedua untuk menata ulang hidupnya, Aleeyah menuturkan tidak akan mengecewakan siapapun.
Selain itu, ia juga melihat dirinya bukanlah sosok yang radikal. Sehingga ia tak keberatan jika harus mengikuti persyaratan untuk bisa kembali ke Tanah Air. “Jadi saya enggak ada alasan untuk merasa berat,” ujarnya.
Aleeyah menceritakan, sebagian besar penghuni di kamp Rojava, tempat tinggalnya saat ini, masih menunggu kebangkitan ISIS. Sebagian besar dari mereka adalah non WNI. Mereka juga mencoba menarik Aleeyah untuk kembali bergabung bersama ISIS.
“Tapi saya enggak pernah gubris. Saya sudah tiga kali diserang sama orang gendeng. Pendirian saya mantep buat pulang ke Indonesia. Enggak akan berubah, enggak ragu, enggak akan terpengaruh sama kicauan mereka lagi. I’m well done from them,” ucapnya.
WNI eks ISIS lainnya, Nada Fedulla juga ingin pulang ke Indonesia. Diwawancarai jurnalis BBC, Nada mengaku ke Suriah diajak oleh ayahnya, Aref Fedulla. Ia tidak tahu jika berangkat ke Suriah pada tahun 2015 untuk bergabung dengan ISIS. Seluruh anggota keluarganya, termasuk sang nenek juga diajak berangkat.
“Sebelumnya, saya tidak tahu ayah akan membawa kami ke sini. Saat masih bersekolah, saya bercita-cita menjadi dokter dan sangat senang belajar,” kata Nada.
Nada sangat ingin pulang ke Indonesia dan tidak betah di Suriah. “Saya sangat lelah di sini. Jadi kami akan sangat berterima kasih jika ada orang yang memaafkan saya,” ujarnya.
Perempuan ini bahkan mengaku pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri tindakan kekejaman yang dilakukan ISIS. “Ketika saya pergi berbelanja dengan keluarga, kadang-kadang saya melihat mereka membantai orang-orang. Mereka melakukannya di jalanan agar orang-orang bisa melihat,” ungkap Nada.
Nada telah memaafkan sang ayah yang telah membawanya ke Suriah hingga meruntuhkan cita-citanya untuk menjadi dokter. “Ya, karena dia juga manusia. Semua manusia bisa berbuat kesalahan,” ujarnya.
Menurut pengakuan Nada, Aref Fedulla sudah meminta maaf kepadanya atas kesalahan yang ia lakukan. “Dia sudah meminta maaf dan berusaha memperbaiki kesalahannya. Tapi dia tidak bisa melakukan apapun karena di penjara,” ujarnya.
Ayah Nada, Aref Fedulla menyerahkan seluruh anggota keluarganya ke ISIS, termasuk anaknya sendiri. “Itu adalah hal paling gila di hidup saya. Saya membawa seluruh keluarga saya ke Suriah,” kata Aref kepada jurnalis BBC.
Ia mengakui keputusannya membawa seluruh keluarganya ke Suriah sebagai kesalahan terbesar dalam hidupnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa, sebab sedang dipenjara dan tak kunjung diproses hukum.
“Ya, tapi kami harus ke pengadilan. Dan sekarang, kami tidak tahu apa yang sebenarnya kami lakukan di sini selama dua tahun terakhir,” ujar Aref. (wip)
Sumber: Tempo.co, Suara.com