(IslamToday ID) — Pemerintah Indonesia dilaporkan akan segera memberikan relaksasi untuk impor scrap dan slab atau limbah besi tua dan bekas, serta limbah baja.
Menurut Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang hal ini dilakukan guna memenuhi dan menopang kebutuhan bahan baku untuk membuat billet atau bahan baku baja setengah jadi yang berbentuk balok. Menurutnya, bahan baku industri baja kini sedang sekarang karena serbuan impor karena sulit berdaya saing.
Berdasarkan pernyataan Agus Gumiwang, hal ini menjadi salah satu kesepakatan dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) Rabu siang dalam rangka membahas ketersediaan bahan baku bagi industri besi dan baja.
“Terakhir juga diputuskan untuk scrap logam, agar juga dibuat relaksasinya untuk impor. Karena apa, karena kita bisa lihat bahwa kebutuhan scrap logam dalam negeri untuk mendukung hilirisasi dan mendukung produksi dari billet,” tandasnya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Sementara dalam konferensi pers di Kemenperin Agus menjelaskan “Dalam ratas (rapat terbatas di Istana Negara) sudah diputuskan akan ada kebijakan relaksasi mengenai impor bahan baku scrap logam. Ini bagian untuk wujudkan circular ekonomi. Ini yang tadi dibahas dalam ratas khusus dalam industri baja dan terkait dengan industri baja,” pungkas Agus Gumiwang dalam konferensi pers di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Agus mengatakan selama ini Indonesia mengategorikan slab sebagai limbah berbahaya yang masuk kategori Bahan Beracun Berbahaya (B3). Padahal di luar negeri, seperti di Amerika Serikat dan Jepang, limbah seperti ini masih dikelola dan dijadikan produk yang memiliki nilai tambah. Agus menyebut Indonesia merupakan satu dari hanya dua negara yang mengkategorikan limbah sejenis itu sebagai limbah berbahaya (hazardous).
Ia mengatakan potensi slab saat ini sebesar 2,2 juta ton per tahun dari 44 perusahaan di seluruh Indonesia. Ia menjelaskan, apabila itu bisa dikelola dengan baik, maka sektor industri Indonesia, bahkan pemerintah Indonesia bisa diuntungkan dengan memproduksi billet dari scrap dan slab.
“Scrap itu bahan baku untuk billet (bola besi untuk bahan baku baja). Fakta yang ada di lapangan mengatakan bahwa harga-harga billet yang diimpor itu harganya lebih mahal 100 dolar per ton dibandingkan harga billet yang diproduksi di dalam negeri, yang salah satu komponennya itu bahan baku scrap impor,” cetus Agus.
Hal ini lah yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan melakukan relaksasi impor scrap dan slab tujuannya untuk mendukung daya saing industri baja hulu, agar mendapatkan bahan baku yang berdaya saing.
Darurat SOS Industri Baja
Agus menjelaskan, produksi billet dalam negeri saat ini mencapai 4 juta ton per tahun. Menurutnya jika produksi billet terganggu akan memberikan dampak terhadap defisit neraca perdagangan Indonesia
“Perbedaan harga billet impor lebih mahal, tapi dalam negeri kesulitan karena bahan baku scrap-nya belum direlaksasi (kemudahan impor). Kalau asumsi 4 juta ton billet, yang dibutuhkan industri dalam negeri dengan selisih harga 100 dolar per ton maka defisit perdagangan hanya dari jenis billet itu 400 juta dolar per tahun,” tukasnya.
“Terserah kita mau lihat dari mana, defisit 400 juta dolar per tahun atau opportunity loss dari industri. Bagi saya dua-duanya. Maka saya sampaikan impor jangan selalu dilihat dari kacamata negatif,” jelasnya.
“Kenapa sektor baja itu masih memberikan kontribusi terhadap defisit neraca dagang, kita lihat berkaitan billet ya. Impor billet itu naik. Impor billet naik karena apa, karena memang billet yang ada di scrap, billet yang diproses di dalam negeri belum memiliki bahan baku yang cukup. Yang saya sebut scrap logam tadi,” terangnya.
Billet sendiri merupakan bahan baku untuk membuat produk besi dana baja. Jika impor scrap yang menjadi bahan baku billet terganggu maka industri besi dan baja mengisinya dengan impor.
Sementara menurut Agus, harga billet impor jauh lebih mahal dari billet yang diproduksi dalam negeri. Selisihnya bisa mencapai sekitar US$ 100 per ton.
“Jadi kalau kebutuhan sisa impor scrap logam 4 juta ton per tahun, maka kalau tidak diproduksi dalam negeri maka akan ada defisit (hanya dari billet) sebesar US$ 400 juta per tahun. Artinya ada opportunity loss bagi industri dalam negeri sebesar US$ 400 juta per tahun,” terangnya.
“Maka, aturan-aturan relaksasi untuk industri dalam negeri bisa mengimpor scrap logam sudah dibahas dan sudah diputuskan dalam ratas,”imbuhnya.
Relaksasi impor besi bekas untuk produksi billet ini juga bertujuan untuk meningkatkan utilitas pabrik besi dan baja tanah air. Sebab menurut data Agus utilisasi pabrik besi dan baja RI baik BUMN maupun swasta rata-rata sekitar 50%.(iz)
Sumber: DetikFinance, CNBC Indonesia