JAKARTA, (IslamToday ID) – Pemerintah sudah memutuskan tidak akan memulangkan ratusan warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS ke Tanah Air. Artinya, status kewarganegaraan mereka bakal hilang. Lantas, produk hukum apa yang tepat digunakan untuk menetapkan pencabutan status kewarganegaan mereka?
Ada sebagian pihak yang berpendapat harus dengan putusan pengadilan. Sementara pemerintah menyebut bisa gugur secara otomatis. Ada juga yang berpendapat lewat Keppres. Mana yang benar?
“Peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur mengenai tata cara kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas dan terang. Aturan tersebut tertuang dalam PP No 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia,” kata ahli hukum, Bayu Dwi Anggono, Jumat (14/2/2020).
Peraturan pemerintah ini merupakan aturan turunan dari UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Di mana mengenai syarat-syarat dapat kehilangan dengan sendirinya kewarganegaraan bagi seorang WNI telah diatur dalam UU Kewarganegaraan. Pasal 23 huruf (d) UU Kewarganegaraan:
Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) dengan sendirinya kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden.
Sedangkan ayat (f) di pasal yang sama menegaskan:
Seorang WNI dengan sendirinya kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.
Terhadap WNI yang memenuhi ketentuan pasal 23 UU Kewarganegaraan tersebut, maka PP No 2/2007 di pasal 32 ayat (1) mengatur pimpinan instansi tingkat pusat yang mengetahui adanya WNI yang memenuhi ketentuan kehilangan kewarganegaraan RI mengkoordinasikannya kepada Menteri Hukum dan HAM.
“Pasal 32 ayat (2) PP 2/2007 juga membuka ruang adanya laporan dari pimpinan instansi tingkat daerah atau anggota masyarakat yang mengetahui adanya WNI yang memenuhi ketentuan kehilangan kewarganegaraan,” ujar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.
Selanjutnya, di pasal 34 ayat (1) PP No 2/2007 diatur sebagai tindak lanjut hasil koordinasi atau laporan tersebut Menteri Hukum dan HAM memeriksa kebenaran laporan tentang kehilangan kewarganegaraan RI. Dalam memeriksa kebenaran laporan tersebut disebutkan di pasal 34 ayat (2) Menteri Hukum dan HAM melakukan klarifikasi kepada pelapor, terlapor, dan instansi terkait.
“Mengingat terlapor yaitu WNI yang bergabung di ISIS tidak memungkinkan untuk dilakukan klarifikasi dan di sisi lain bukti-bukti yang menunjukkan bahwa mereka bergabung ke ISIS telah terang benderang, maka Menteri Hukum dan HAM cukup melakukan klarifikasi kepada instansi terkait,” papar Bayu.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan dan klarifikasi tersebut maka menurut pasal 34 ayat (3) PP No 2/2007 Menteri Hukum dan HAM menetapkan keputusan menteri tentang nama orang yang kehilangan kewarganegaraan RI,” tambah Bayu.
Selanjutnya, berdasarkan pasal 34 ayat (4) PP No 2/2007 maka keputusan Menteri Hukum dan HAM tembusannya disampaikan kepada presiden, pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang yang kehilangan kewarganegaraan, perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang yang kehilangan kewarganegaraan, dan instansi terkait.
“Dengan demikian presiden hanya menerima tembusan saja dan tidak perlu menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia bagi WNI yang bergabung ISIS, karena kewenangan tersebut merupakan kewenangan Menteri Hukum dan HAM,” ujar Bayu. (wip)
Sumber: Detik.com