JAKARTA, (IslamToday ID) – Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri menyatakan penghentian penyelidikan di KPK bukanlah hal baru. Setidaknya dalam 5 tahun terakhir disebut ada lebih dari 100 perkara yang dihentikan pada tahap penyelidikan.
“Perlu juga kami sampaikan, penghentian perkara di tingkat penyelidikan ini bukanlah praktik yang baru dilakukan saat ini saja di KPK. Data 5 tahun terakhir sejak 2016, KPK pernah menghentikan penyelidikan sebanyak total 162 kasus,” kata Ali, Jumat (21/2/2020).
Ia mengatakan penghentian kasus dalam tahap penyelidikan itu dulunya dilakukan karena Pasal 40 UU No 30 Tahun 2002 atau UU KPK sebelum revisi itu melarang KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan. Karena itu, KPK saat itu wajib memastikan seluruh kasus yang naik ke penyidikan memiliki bukti yang kuat.
“Sama halnya dengan pasca-berlakunya UU KPK yang baru. Meskipun UU No 19 Tahun 2019 membuka ruang secara terbatas bagi KPK untuk menghentikan perkara di tingkat penyidikan dan penuntutan, namun KPK tetap wajib menangani perkara secara hati-hati. Pada Pasal 40 UU No 19 Tahun 2019 penghentian penyidikan dapat dilakukan jika belum selesai dalam jangka waktu 2 tahun,” kata Ali.
Karena itu, ia mengatakan, kasus-kasus yang memiliki bukti awal yang cukup wajib dilanjutkan. Namun sebaliknya, kasus yang dinilai tidak cukup bukti harus dihentikan.
“Sehingga, dalam proses penyelidikanlah kecukupan bukti awal diuji sedemikian rupa. Jika bukti cukup dapat ditingkatkan ke penyidikan, namun jika tidak cukup maka wajib dihentikan,” tuturnya.
Ali mengatakan penghentian penyelidikan itu tidak sembarangan. Pun, perkara-perkara yang dihentikan merupakan penyelidikan yang berdasarkan KUHAP, artinya serangkaian kegiatan penyelidik untuk menemukan suatu peristiwa pidana untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
“Dari definisi penyelidikan ini kita dapat memahami bahwa dalam proses penyelidikan terdapat kemungkinan sebuah perkara ditingkatkan ke penyidikan atau tidak. Ketika di tahap penyelidikan ditemukan peristiwa pidana dan bukti permulaan yang cukup, maka perkara ditingkatkan ke penyidikan. Dan, sebaliknya sebagai konsekuensi logis, jika tidak ditemukan hal tersebut maka perkara dihentikan penyelidikannya,” ujarnya.
Ali menegaskan penghentian kasus di tahap penyelidikan itu dilakukan dengan sejumlah pertimbangan. Berikut ini pertimbangan KPK dalam menghentikan kasus dalam tahap penyelidikan. Pertama, sejumlah penyelidikan sudah dilakukan sejak 2011 (9 tahun), 2013, 2015 dan lain lain. Kedua, selama proses penyelidikan dilakukan tidak terpenuhi syarat untuk ditingkatkan ke penyidikan, seperti bukti permulaan yang cukup, bukan tindak pidana korupsi, dan alasan lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Ketiga, untuk tahun 2020 jenis penyelidikan yang dihentikan cukup beragam, yaitu terkait dugaan korupsi oleh kepala daerah, BUMN, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, dan DPR/DPRD.
Sementara, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan penghentian 36 perkara di tahap penyelidikan yang dilakukan KPK sebagai bentuk memberikan rasa kepastian hukum dan keadilan.
“Tujuan hukum harus terwujud, kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Tidak boleh perkara digantung-gantung untuk menakut-nakuti pencari kepastian hukum dan keadilan,” ucap Firli.
Karena, kata Firli, suatu perbuatan yang bukan tindak pidana harus dihentikan jika tidak memiliki bukti permulaan yang cukup. Hal tersebut harus dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu terhadap para terduga tindak pidana korupsi.
“Kalau bukan tindak pidana, masak iya tidak dihentikan. Justru kalau tidak dihentikan maka bisa disalahgunakan untuk pemerasan, dan kepentingan lainnya,” pungkas Firli. (wip)
Sumber: Rmol.id, Detik.com