(IslamToday ID) — Pembahasan penyelesaian kasus skandal BUMN Jiwasraya antara pihak pemerintah dan DPR mencapai babak baru. Adapun terungkap tiga skema yang diusulkan pihak pemerintah yakni, opsi bail in, opsi bail out, dan likuidasi.
Santer beredar rencana PMN (penyertaan modal negara) sebesar Rp 15 triliun untuk membayar polis nasabah dan dalih dana talangan untuk menyelamatkan Jiwasraya.
Hal ini mengingatkan pada kasus Century dimana pemerintah pernah melakukan bailout Rp 6,7 triliun untuk Bank Century pada 2008. Kala itu, Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal berdampak sistemik. Dalam perjalanannya, terjadi kasus korupsi yang melibatkan pemilik Bank Century Robert Tantular
Pemerintah pun melalui Kementerian BUMN menyampaikan tiga alternatif penyelesaian dana nasabah Asuransi Jiwasraya.
Dalam dokumen yang disampaikan Kementerian BUMN di depan DPR, ada tiga skema besar penyelamatan polis dan Jiwasraya. Berikut rincian skema penyelamatan polis dan Jiwasraya yang dirancang oleh pemerintah
Opsi 1
Bail In, dukungan dari pemilik saham Jiwasraya. Pertimbangannya, dapat dilakukan pembayaran penuh maupun sebagian. Namun ada risiko hukum (gugatan) jika dibayar sebagian.
Opsi 2
Bail Out, dukungan dana dari pemerintah. Pertimbangannya, opsi bail out (dana talangan) dapat dilakukan kepada Jiwasraya karena belum ada peraturan terkait baik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun KSSK (komite stabilitas sistem keuangan).
Opsi 3
Likuidasi, pembubaran perusahaan. Pertimbangannya, harus dilakukan melalui OJK. Namun opsi ini memiliki dampak sosial dan politik yang signifikan.
Berdasarkan tiga opsi tersebut, Kementerian BUMN mewakili pemerintah lebih memilih Opsi 1 dengan mempertimbangkan aspek hukum, sosial dan politik.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah merumuskan tiga alternatif pembayaran utang klaim yang akan dimulai pada 2020. Utang klaim ini tak hanya untuk produk JS Saving Plan yang menanggung gagal bayar mencapai Rp 16 triliun tahun ini, tapi juga klaim dari nasabah tradisional Jiwasraya, demikian menurut laporan CNBC Indonesia.
Pemerintah Benarkan Ada Opsi Bail Out 15 T
“Kita kan kemarin FGD [focuss group discussion], masih optional, jadi kita belum putuskan, memang ini butuh koordinasi dengan [DPR Komisi] VI dan XI, juga menunggu persetujuan dari OJK dan kementerian Keuangan. Tapi opsi-opsi itu kita arahkan memang nanti bagaimana opsi yang terbaik untuk keadilan masyarakat,” tukas Wamen BUMN Kartika Wiroatmojo di kawasan parlemen, Selasa (25/2/2020), mengutip laporan CNBC Indonesia.
Kementerian BUMN mengakui penyuntikan modal dari negara lewat PMN (penyertaan modal negara) memang menjadi opsi yang ditawarkan untuk membayarkan utang klaim PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sekaligus untuk menyelamatkan kondisi perusahaan pelat merah ini.
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan suntikan modal ini disodorkan bersama dengan beberapa opsi lainnya. Seluruh ini dibahas dalam diskusi antara pemerintah, Jiwasraya dan koordinasi dengan pihak parlemen.
DPR Enggan Setujui Bail Out 15 T.
Sementara itu, Komisi VI DPR menegaskan hingga saat ini belum ada keputusan mengenai skema apa yang akan digunakan dalam penyelesaian kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Opsi skema penyertaan modal negara (PMN) atau bailout cenderung dihindari Senayan.
Anggota Komisi VI DPR, Deddy Yefri Sitorus, mengatakan, Senin, Kementerian Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) baru sebatas melakukan curah pendapat mengenai berbagai opsi skema penyelesaian kasus Jiwasraya. Sampai saat ini belum ada keputusan bersama antara pemerintah dan DPR mengenai opsi skema yang bakal dipilih.
“Karena kami Komisi VI meminta pada pemerintah untuk lebih mendetailkan lagi penjelasannya mengenai tiap opsi skema penyelesaian. Mengenai asumsi, risikonya, sampai strategi kontingensinya,” pungkas Deddy mengutip laporan Ipotnews, di Jakarta, Selasa (25/2).
Ia pun menegaskan sampai saat ini, Komisi VI DPR tetap berusaha menghindari penyelesaian skema bailout . “Kami tetap berpandangan itu adalah pilihan terakhir yang harus diambil,” jelas Deddy.
Menurutnya, kasus Jiwasraya harus bisa diselesaikan dengan skema yang menguntungkan pemegang polis yang menjadi korban. Selain menyehatkan perusahaan Jiwasraya itu sendiri, opsi yang nanti dipilih tidak meminggirkan para nasabah pemegang polis yang menjadi korban.
“Kasus Jiwasraya ini bagi DPR juga menjadi momentum untuk memperbaiki tidak hanya Jiwasraya, tetapi industri asuransi nasional secara keseluruhan,” tukas Deddy.
Sementara itu, Ketua Panja Komisi VI DPR RI Aria Bima juga mengatakan belum ada kepastian dari seluruh pihak terkait langkah apa yang akan diambil. Menurutnya, panja baru saja melakukan pembahasan dari opsi-opsi yang disampaikan oleh Kementerian BUMN.
“Itu saja belum, kepastian dari mana kok muncul seperti itu, opsi-opsi duitnya dari mana. Boleh saja kalau opsi Rp 15 triliun apa PMN [penyertaan modal negara], apa holdingisasi, apa rights issue. Muncul PMN yang punya duit juga bingung, enggak mudah loh,” tukas Aria sebelum rapat dengan Kementerian BUMN dan direksi Jiwasraya di komplek parlemen, Selasa (25/2/2020), mengutip CNBC Indonesia.
APBN Defisit, Bail Out Bukan Solusi
Senada dengan Aria Bima, Pengamat Perasuransian yang pernah menjadi Ketua Dewan Asuransi Hotbonar Sinaga mengungkapkan bailout atau penyelamatan Jiwasraya menggunakan APBN adalah hal yang mustahil.
“APBN kita defisit, tidak mungkin dibailout. Kalau memberikan PMN [Penyertaan Modal Negara] sama saja dengan menggarami air laut,” pungkas Hotbonar di CNBC Indonesia TV, (19/12/2019)
Ia memaparkan, untuk bisa menyelesaikan kasus Jiwasraya harus ada urutan prioritas. Pertama, menyelesaikan keluhan korban melalui penyehatan Jiwasraya.
“Terutama yang klaim-klaimnya tidak bisa dibayar Jiwasraya,” pungkas Hotbonar.
“Kedua, penegakan hukum, kita cari solusi pertama penyelesaian korban untuk penyehatan, penyehatan yang sifatnya subjektif diserahkan pada pihak berwenang,” tegasnya.
Hotbonar menambahkan Direksi pada masa itu harus bertanggungjawab penuh. Oleh karena, langkah Direksi sangatlah merugikan nasabah.
Bahkan ia mengatakan kasus Jiwasraya layaknya Bank Century. “Ada kesamaannya, yakni merugikan nasabah. Kalau bicara Century kan merugikan nasabah dan sekuritas juga terlibat.”
“Ini tanggung jawab OJK juga, sebagai regulator di perbankan dan jasa asuransi dan keuangan non bank lainnya,” tandasnya.(Iza)