JAKARTA, (IslamToday ID) – Jenderal polisi menduduki posisi strategis di lembaga pemerintahan bukanlah hal baru. Apalagi di era pemerintahan Presiden Jokowi sejak dilantik pada periode pertamanya tahun 2014.
Yang terbilang baru adalah Komjen Firli Bahuri yang diangkat menjadi Ketua KPK menggantikan Agus Raharjo. Kemudian ada Komjen Tjondro Kirono yang menjadi Komisaris PT Pertamina (Persero).
Tjondro sebelumnya sempat menjabat beberapa posisi strategis di kepolisian seperti Kakorlantas, Kapolda Jateng, dan Kabaharkam. Terakhir ia menjabat sebagai Analis Kebijakan Utama Baharkam Polri dan memasuki pensiun pada Desember 2019.
Belum lama ini, Mendagri Tito Karnavian meminta penegak hukum baik dari kepolisian dan kejaksaan menjalankan fungsinya sebagai konsultan untuk mengelola dan mengawasi dana desa bersama aparatur desa.
Itu artinya ia meminta polisi dilibatkan dalam pengelolaan dan pengawasan dana desa yang nilainya mencapai triliunan rupiah. Menurut Tito, peran penegak hukum sebagai konsultan dana desa tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku. “Fungsi pertama adalah fungsi konsultasi dan adviser. Jadilah penasihat atau konsultan,” kata Tito, Jumat (28/2/2020).
Menurutnya, aparat juga dapat menjalankan fungsi hukum apabila terjadi pelanggaran dan penyimpangan penggunaan dana desa.
“Jadi rekan-rekan pengawas internal, Inspektorat, kepala biro pemerintahan, Polri, kejaksaan, berikan bimbingan agar teman-teman kepala desa ini, yang administrasinya kurang-kurang, bantu mereka untuk diperbaiki,” jelas Tito.
Ia juga meminta agar kepala desa tidak langsung dipidana apabila terjadi kesalahan administrasi dalam menggunakan dana desa. Alasannya, 60 persen kades di seluruh Indonesia memiliki latar belakang tidak sampai lulus SLTA.
Ia menyatakan kades harus dipidana tatkala ditemukan penyimpangan seperti menggunakan dana desa untuk kepentingan pribadi. “Jadi itu tolong, karena kalau seandainya semua langsung pukul penegakan hukum, yang terjadi nanti ada ketakutan dari kepala desa,” ujar Tito.
“Padahal kita tahu salahnya bukan karena disengaja, bukan karena niatnya. Administrasinya kurang-kurang dikitlah. Kalau sampai dipukul nanti malah jadi stagnan,” tambahnya.
Seperti diketahui, pemerintah mulai menerapkan skema baru dalam melakukan transfer dana desa. Menurut Tito, dalam skema baru dana desa akan ditransfer langsung ke rekening desa. Sebelumnya, dana desa harus ditransfer terlebih dulu melalui rekening pemerintah daerah.
Ia menyarankan seluruh kepala desa mengetahui dasar-dasar administrasi keuangan. Sebab, jumlah dana desa yang ditransfer ke rekening desa tidaklah sedikit.
Besaran dana desa itu, kata Tito, harus diiringi dengan pengawasan yang ketat. Ia turut meminta agar para camat dan biro pemerintahan daerah aktif mengawasinya.
“Dananya hampir Rp 1 miliar tiap desa. Ini baru 1 dari 7 sumber lainnya, termasuk hibah, Bumdes, jadi cukup besar anggaran yang dikelola. Sehingga perlu memiliki kemampuan administrasi tentang mengelola keuangan negara,” kata Tito.
Demokratic Policing
Seperti diketahui, Tito sendiri adalah mantan Kapolri di era pemerintahan Jokowi yang pertama. Sebelumnya, selain Firli Bahuri dan Tjondro Kirono ada berderet jenderal polisi berada di posisi strategis pemerintahan.
Sebut saja Kepala BNN Komjen Heru Winarko, Dirjen Imigrasi Irjen Ronny F Somphie (sudah dicopot), Ketua PSSI Komjen Mochammad Iriawan, Kepala BIN Komjen Budi Gunawan, Kepala Bulog Komjen Budi Waseso, Komisaris Pertamina Komjen Tjondro Kirono, dan Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius. Dari jenderal-jenderal itu, ada sebagian yang masih aktif di kepolisian dan ada juga yang sudah pensiun.
Banyaknya jenderal polisi berada di posisi pemerintahan ternyata menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Hal itu diungkapkan oleh peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi. Ia menyoroti potensi Indonesia menjadi negara polisi.
“Negara polisi adalah suatu kondisi negara di mana penguasa memelihara kekuasaan dengan jalan mengawasi, menjaga, dan mencampuri lapangan kehidupan rakyat dengan alat kekuasaan,” ujar Khairul, Rabu (18/9/20219).
“Sorotan tertuju pada institusi Polri, terutama menyangkut banyaknya perwira tinggi Polri yang menduduki jabatan pimpinan tinggi di sejumlah lembaga pemerintah. Sesuatu yang sebenarnya sudah diprediksi dan dikhawatirkan sejak lama,” lanjutnya.
Sebab setelah 20 tahun reformasi, menurut Khairul, politik Indonesia ternyata juga masih menjadi ajang “rebutan kuasa”. Berakhirnya Orde Baru ternyata tidak serta merta menghadirkan kedamaian dan keamanan.
“Di tengah menguatnya pragmatisme pada perangkat-perangkat demokrasi dan praetorianisme di tubuh militer, muncullah kekuatan alternatif bernama Polri. Jalan demokrasi yang kita tempuh memang memberikan mandat penuh bagi mereka sebagai penegak hukum dan keamanan dalam negeri. Ironisnya, para pimpinan Polri, meski mengusung tagline democratic policing atau perpolisian demokratis, dinilai sering kali gagal menunjukkan komitmen itu,” jelas Khairul.
Ia menyebut ruler appointed police alias jenis polisi pemerintah seperti Polri itu jadi seolah ditakdirkan untuk sulit berjarak dengan kekuasaan. Ini juga kultur warisan yang mereka dapat, terutama selama 32 tahun berada dalam payung lembaga yang bernama ABRI.
“Sejumlah jenderal polisi, baik yang masih aktif maupun pensiunan, bahkan bermunculan di tengah pusaran kekuasaan dan diyakini ikut menjadi pilar-pilar penopangnya melalui lembaga-lembaga negara dan pemerintahan,” tambahnya. (wip)
Sumber: Tempo.co, CNNIndonesia.com, Detik.com