IslamToday ID — Pandemi Corona virus (covid-19) yang melanda Indonesia turut mempengaruhi penegakan hukum. Terlebih pemerintah tidak belum menerapkan kebijakan lockdown dengan batas waktu yang pasti.
Akibatnya sejumlah persidangan tertunda. Tersangka maupun terdakwa -tidak mendapat kepastian hukum. Maka, persidangan secara online atau daring dianggap menjadi solusi untuk menyelamatkan penegakan hukum di tengah wabah corona virus yang melanda Indonesia.
Kemarin, Jum’at 27 Maret 2020, Jaksa Agung ST Burhanudin memberikan arahan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri seluruh Indonesia. Salah satunya adalah menunda sejumlah sidang yang masa penahanan terdakwa masih bisa diperpanjang.
“Menunda persidangan perkara pidana yang masa penahanannya masih memungkinkan untuk diperpanjang,” kata Burhanuddin dalam keterangannya, Jumat (27/3).
Burhanuddin meminta Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Tinggi Negeri berkordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Rutan atau lapas untuk mengupayakan sidang pidana melaui sarana video conference.
Sebelumnya, sebanyak 14 Kejaksaan Tinggi mengambil inisiatif untuk melaksanakan persidangan secara daring atau online. 14 Kejati yang sudah menggelar sidang online, yakni Kejati Papua Barat, Riau, Jawa Timur, DKI Jakarta, Kejati Yogyakarta, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Aceh, Bengkulu, Bangka Belitung, Jawa Tengah, NTT, dan Sulawesi Selatan.
Kejati DKI Jakarta merupakan satu-satunya seluruh Kejaksaan Negerinya telah menggelar sidang secara daring. Inisitif tersebut merupakan buntut dari keluarnya surat Menteri Hukum dan HAM tanggal 24 Maret 2020 yang melarang pengiriman dan pengeluaran tahanan dari Rutan ditengah pandemic corona virus.
Terbitnya surat tersebut juga mengganggu persidangan di Jawa Timur. Tercatat baru baru Kejari Trenggalek, Kejari Sidoarjo dan Kejari Malang yang melaksanakan sidang online. Sebanyak 33 Kejari yang lain hari ini baru koordinasi dengan Pengadilan, Polres dan Lapas setempat.
Utamakan Keadilan
Dalam persidangan online, hanya hakim dan jaksa yang hadir ke pengadilan. Terdakwa cukup berada di tahanan dengan mengikuti persidangan lewat video conference.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Sebelas Maret, Dr. Muhammad Taufiq mengungkapkan, penggunaan teleconference (sarana elektronik) belum diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang memungkinkan dilakukannya persidangan secara daring. Antara lain Pasal 9 ayat 3 UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“Tahun 2003 pernah sidang ABB menggunakan ini tapi ditolak penasihat hukum saat itu JPU (Jaksa Penuntut Umum) beralasan saksi takut. Selain itu, MK (Mahkamah Konstitusi) pernah dan sering teleconference” ujar Dr. Muhammad Taufiq
Taufiq menambahkan, Pasal 185 KUHAP memang menyatakan bahwa keterangan saksi yang kuat adalah apa yang disampaikan di dalam sidang. Tapi dalam kondisi abnormal, menurutnya pasal tersebut bisa dikesampingkan. Prinsipnya, tujuan persidangan tidak lain demimenegakkan keadilan dan menjalankan asas peradilan yang cepat dan murah.
“Dalam kondisi abnormal, itu (sidang online) bisa dilakukan demi menegakkan keadilan dan menjalankan asas peradilan yang cepat dan murah,” ujarnya
Selama ini , prinsip persidangan cepat dan murah belum dipraktekkan. Hal itu terjadi karena sidang seringkali ditunda. Hal ini merugikan terdakwa karena tidak ada kepastian hukum dan tentu melanggar HAM.
Jika sidang tetap ditunda karena alasan pandemic. Menurut Taufiq, orang yang berposisi sebagai tersangka atau terdakwa dia dilanggar dua haknya sekaligus, yakni HAM dan kepastian hukum.
“Jadi jika kepastian hukum berhadapan dengan keadilan, maka keadilan harus diutamakan karena menegakkan hukum tidak boleh melanggar HAM,” pungkas Taufiq