(IslamToday ID) — Presiden Joko Widodo rupanya cukup ahli dalam mengajak seluruh elemen bangsa untuk terus belajar dalam menyikapi kebijakan publik. Pilihan Presiden untuk menerapkan Pembatasan Sosial dalam skala lebih besar dengan didampingi Darurat sipil telah ‘membangunkan’ intelektualitas seluruh eleman bangsa.
Para pakar hukum kemudian angkat bicara, menunjukan kredibilitas keilmuannya. Mereka sekaligus memberikan ‘kuliah gratis’ kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk kepada Presiden Joko Widodo.
Salah Kaprah
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, kebijakan darurat sipil yang dipilih Presiden tidak tepat, bahkan salah kaprah demi mengatasi dan menekan penyebaran wabah (COVID-19). Kondisi yang mendorong munculnya kebijakan darurat sipil tidak akan sama dengan situasi wabah saat ini. Darurat sipil digunakan ketika negara sedang menghadapi gangguan keamanan, bukan gangguan kesehatan.
“Darurat sipil ini kan biasanya terkait dengan gangguan keamanan dalam skala besar. Penyebab gangguan keamanan itu ya macam-macam, tapi intinya adalah pemerintah yang ada sudah tidak lagi efektif,” ujar Refly, Senin (30/3/2020) seperti dikutip dari Kompas.com
Ia menjelaskan, berdasarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959, dalam situasi darurat sipil, pemerintah berhak untuk melakukan pembatasan terhadap apapun.
Misalnya, kewenangan bagi negara membatasi pertunjukkan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, bahkan menutup akses internet. Bahkan, pemerintah dibenarkan menerapkan cara-cara represif dengan bertujuan menciptakan tertib sosial.
“Padahal ini kan tidak ada masalah dengan tertib sosialnya. Justru terkesan pemerintahnya yang ragu-ragu mengambil langkah untuk penanganan COVID-19 ini, bukan masyarakatnya,” imbuh Refly.
Refly berpendapat, yang mendesak saat ini yakni, segera memulihkan kondisi kesehatan masyarakat, bukan memulihkan pemerintahan atau tertib sosial. Indonesia juga telah memiliki landasan hukum yang cukup untuk menetapkan status darurat kesehatan, yakni undang-undang kesehatan dan undang-undang tentang Kekarantinaan Kesehatan. Menurutnya dua aturan hukum tersebut sudah cukup memadai untuk penanganan wabah covid-19.
Darurat Sipil Tidak Diperlukan
Pendapat yang sama juga disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti. Menurutnya penerapan darurat sipil untuk menangani covid-19 sangat berlebihan. Bahkan menurutnya, status darurat sipil tidak diperlukan sama sekali dalam situasi ini.
“Kita sudah punya UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana, Itu cukup,” tukas Bivitri, Senin (30/3/2020) dikutip dari Tempo.co
Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah adalah pelaksanaan kedua UU secara maksimal. Sebab, sampai saat ini, belum ada Peraturan Pemerintah (PP) dan penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Bivitri menambahkan ketentuan darurat sipil yang dikeluarkan tahun 1959 untuk memberantas sejumlah pemberontakan di daerah pada masa itu, Sehingga, tindakan-tindakan “penguasa darurat sipil” diarahkan untuk menjaga keamanan. Mulai dari menyadap, membubarkan kerumunan, hingga menghentikan jalur komunikasi.
“Kita kan nggak perlu itu, kita mau mengenyahkan virus, bukan pemberontak,” pungkasnya.
Syarat Darurat Sipil
Sementara itu, Ahli hukum dari UGM Yogyakarta, Oce Madril, menjelaskan Dalam Perpu 1959 itu dikenal 3 darurat, yaitu Darurat Sipil, Darurat Militer, dan Darurat Perang. Setiap jenis ‘Darurat’ memiliki tujuan, syarat-syarat, dan konteks yang berbeda.
“Syarat-syarat keadaan bahaya dengan berbagai tingkatan Darurat itu ada dalam Pasal 1 Perppu. Semua mengarah pada terancamnya keamanan/ketertiban oleh pemberontak, kerusuhan, bencana, perang, membahayakan negara, tidak dapat diatasi oleh alat perlengkapan negara secara biasa,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia heran atas rencana Presiden menerapkan darurat sipil sebagai langkah terakhir penanganan COVID-19. Padahal, Jokowi menandatangani UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai payung hukum menanggulangi wabah penyakit.
“Entah mengapa Perppu 1959 yang dirujuk. Padahal ada regulasi UU Penanggulangan Bencana tahun 2007 dan UU yang dibuat oleh Presiden Jokowi, yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan,” pungkas Oce kepada detikcom, Selasa (31/3/2020).
Sebelumnya, Jokowi menyatakan saat ini pembatasan skala besar perlu diterapkan dalam menghadapi Corona. Maka kebijakan Darurat Sipil perlu dijalankan.
“Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif lagi. Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil,” demikian pungkas Presiden Jokowi dalam rapat terbatas laporan Gugus Tugas COVID-19 yang disiarkan lewat akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin (30/3).
Penulis: Arief Setiyanto / Editor: Tori Nuariza