(IslamToday ID) — Mewabahnya virus corona, menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya krisis pangan di Indonesia. Belum lagi tingkat produksi padi di Indonesia sudah mengalami penurunan sejak tahun 2019 sebanyak 7,76%. Dimungkinkan titik kritis pangan akan melanda Indonesia sekitar bulan Mei hingga Juni mendatang.
Potensi krisis pangan ini disampaikan oleh Dewan Komisioner dan Ekonom Senior INDEF, Bustanul Arifin. Menurutnya, berdasarkan data BPS per 4 Februari 2020, produksi padi Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2019 yakni menjadi 54,60 juta ton dari sebelumnya 59,20 juta ton di tahun 2018. Data lain juga menyebutkan bahwa luas lahan mengalami penurunan menjadi 10,68 juta hektar di tahun 2019.
Titik Kritis
“Titik kritis yang paling menentukan adalah Mei-Juni, Juni terutama karena test pertama, Juli-Agustus harga pasti naik karena memang sudah habis panennya,” tutur Bustanul Arifin pada Rabu (8/4/2020).
Bustanul Arifin juga memaparkan tentang data stok beras berdasarkan data milik Bulog per 4 April 2020. Dari data tersebut stok beras Indonesia paling banyak berada di Pulau Jawa, karena Jawa merupakan sentra produksi beras. Jawa Timur merupakan daerah dengan jumlah stok beras paling banyak yakni mencapai 450.000 ton, disusul DKI Jakarta dan Banten dengan 300.000 ton, kemudian Jawa Barat berada di urutan ketiga kurang lebih 230.000 ton, Jawa Tengah sebanyak 100.000 ton dan Yogyakarta di urutan ke lima dengan jumlah kurang lebih 20.000 ton.
Sementara itu, Peneliti Center for Food Energy and Suistainable Development INDEF, Dheny Yuartha Junita mengungkapkan jika pemerintah perlu memperhatikan dua ancaman di dalam ketersediaan pangan. Ancaman itu disebabkan oleh faktor iklim dan faktor produksi selama pandemi corona. Beberapa penelitian menyebutkan tentang adanya resiko-resiko kegagalan panen pada tahun 2020 dan beberapa tahun ke depan.
“Contohnya saja pada tahun ini, saat ini survei dari McKinsey menyebutkan bahwasanya ada sekitar 19% penurunan hasil panen biji-bijian termasuk padi, gandum, jagung dan kedelai,” pungkas Dheny (8/4/2020).
Hantaman berikutnya selain faktor iklim adalah faktor produksi di saat pandemi corona. Penurunan produktivitas pertanian di Indonesia terjadi akibat adanya pembatasan-pembatasan seperti Social Distancing selama masa pandemi. Bulan Maret dan April menjadi jadwal panen pertama bagi petani di Indonesia.
“Penurunan tenaga kerja pertanian memang banyak yang melakukan riset, ada yang menyebutkan sekitar sampai 4%,” ungkap Dheny.
Dheny juga mempertanyakan tentang kemungkinan melakukan kegiatan impor di tengah pandemi corona. Banyak negara yang akhirnya melakukan pembatasan ekspor dan fokus pada pemenuhan kebutuhan pangan domestik. Contohnya, negara Vietnam dan Thailand yang merupakan negara eksportir beras terbesar di Asia Tenggara.
“Ada banyak negara yang kemudian membatasi ekspornya untuk pasar-pasar di luar negeri ini yang kemudian menjadi tantangan kita ketika kita kekurangan bahan dalam negeri, pertanyaannya negara mana yang bersedia mengekspor produk pertaniaanya ke dalam negeri? Jelas Dheny.
Sekedar informasi Indonesia termasuk negara pengimpor barang pangan yang cukup besar. Bahkan, pada tahun 2017 Indonesia sebagai negara net-importir yang nilai impornya lebih tinggi dari nilai ekspornya hingga mencapai nilai defisit sebesar US$ 1,5 miliar. Beberapa negara yang menjadi pemasok kebutuhan pangan Indonesia seperti Thailand dengan beras dan gulanya, China dengan bawang putih, gandum, garam serta daging sapi dari Australia.
Adapun, data stok bahan pangan yang ada pada tahun sebelumnya, 2019 untuk daging sapi terdapat 490.000 ton produksi dalam negeri, dan 487.000 ton dari impor. Untuk bawang putih pada tahun 2019, Indonesia hanya mempunyai stok berdasarkan hasil impor sebanyak 465.000 ton. Stok bawang putih yang tersedia pada Februari 2020 sebanyak 30.000 ton dan realisasi impor bawang putih hingga 31 Maret 2020 sebanyak 15.528 ton. Khusus untuk persediaan gula yang disimpan oleh Bulog hingga Maret 2020 ada 1.236,96 ton, dan stok cadangan nasional hingga Februari 2020, berjumlah 386.605 ton.
Ketahanan Pangan
Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian mendefinisikan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pasokan pangan bagi negara sampai dengan perseorangan untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. Skor indeks ketahanan pangan di Indonesia menurut Global Food Security Index (GFSI) pada tahun 2018 adalah 54,18 dengan skor tertingginya 100 poin. Pada tahun 2018, Indonesia duduk di peringkat ke 65 dari 113 negara, dan peringkat kelima di ASEAN.
GFSI memberikan empat indikator untuk menentukan indeks ketahanan pangan suatu negara. Empat faktor tersebut adalah keterjangkauan, ketersediaan, kualitas dan keamanan serta sumber daya.
Sementara itu, menurut data BKP pada tahun 2018 masih ada 81 kabupaten yang skor indeks ketahanan pangannya hanya 19,5%, dan ada 7 kota yang skornya hanya 7,14%. Kabupaten dan kota yang memiliki skor indeks ketahanan pangan yang rendah disebabkan oleh adanya angka ketergantungan yang tinggi terhadap daerah lain di Indonesia. Mereka sangat bergantung untuk pemenuhan kebutuhan pangan maupun kebutuhan akan sumber air bersih.
Berdasarkan fakta diatas menunjukan bahwa pemerintah masih disibukkan dengan upaya menghilangkan kerawanan pangan yang dialami oleh 956 kecamatan di 88 kabupaten/ kota se-Indonesia. Meskipun, peringkat indeks ketahanan pangan yang terjadi di tahun 2019 mengalami kenaikan menjadi peringkat 62, namun rupanya PR tersebut belum juga dituntaskan hingga tahun 2020 ini. Hal ini disampaikan oleh Kepala BKP Kementan, Agung Henriadi pada acara Roundtable Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan Menuju Indonesia Kuat dan Modern 2045, di Jakarta pada (27/02/2020).
“Ini dievaluasi setiap tahun, kami pantau penurunannya, dan kami siapkan program intervensi untuk mengentaskannya,” jelas Agung.
Mengenai proses distribusi pangan, Presiden Jokowi meminta Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian untuk menegur sejumlah kepala daerah yang menutup akses jalan. Penutupan akses jalan yang berlaku di beberapa daerah selama ini dimaksudkan untuk membatasi mobilitas yang dapat mempercepat persebaran virus corona.
“Saya kemarin mendapat laporan dari dua daerah urusan beras agak terganggu karena jalan ditutup,” pungkas Presiden Jokowi (2/4/2020).
Peluang Sektor Pertanian
Jauh-jauh hari sebelum wabah corona semakin menyebar luas dan menimbulkan krisis pangan pada Mei hingga Agustus mendatang, Ekonom Senior Rizal Ramli pada (17/3) pernah mengatakan bahwa sektor pertanianlah yang menjadi penyelamat dari ancaman krisis global. Setidaknya Indonesia butuh waktu 3 bulan untuk bisa melakukan produksi pangan.
“Mari kita gunakan momen ini untuk menggenjot produksi pertanian seperti buah dan sayur-sayuran agar kita tidak melakukan impor,” ujar Rizal (17/3/20).
Menurut Rizal Ramli, setiap daerah memiliki potensi pertanian yang berbeda-beda, saat itu dia mencontohkan tentang pertanian bawang putih. Bawang putih hanya bisa ditanam di daerah Brebes dan Pati. Namun untuk daerah lain, dia menyarankan agar pemerintah meminta bantuan dari Universitas Ilmu Pertanian Bogor (IPB) untuk melakukan studi kecocokan tanah.
“Kita bisa minta tolong Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk studi kecocokan tanah. Yang cocok bisa kami bantu kredit, bibit, dan pupuk, supaya produksi meningkat,” jelas Rizal Ramli.
Lebih lanjut, Ia mengungkapkan jika jeda waktu tiga bulan bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melakukan penanaman. Maka bukan hal yang mustahil jika selama 3 kuartal berikutnya Indonesia bisa menjadi negara yang mampu melakukan ekspor produk pertanian. Apalagi Kementerian Pertanian memiliki program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang tujuannya untuk meningkatkan produksi pertanian.
Penulis: Kukuh Subekti / Editor: Tori Nuariza