IslamToday ID — Sejak 16 Maret lalu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerapkan belajar dari rumah dengan sistem online. Penerapan belajar dari rumah dimulai pasca ditetapkannya wabah corona sebagai pandemi oleh PBB. Namun tahukah anda sistem belajar online yang bertujuan untuk memutus mata rantai persebaran virus corona nyatanya justru membuat para guru honorer semakin merana.
Problem guru honorer memang sudah ada sejak tahun 2005 ditandai dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 48/2005. Dalam PP tersebut ada pelarangan bagi pemerintah daerah untuk merekrut tenaga honorer. Aturan ini kemudian dipertegas dengan PP No. 49/2018 tentang penghapusan tenaga honorer yang akan berlaku secara bertahap hingga tahun 2023.
Sejak tahun 2019, era Mendikbud Muhadjir Effendy sebagian guru honorer telah diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) setelah dinyatakan lulus tes. Setidaknya hanya ada 51.000 guru honorer yang kini berstatus PPPK sejak Februari 2019.
Meski status bukan lagi honorer nasib mereka tidak kunjung membaik. Terhitung sejak Januari 2020 para guru honorer yang berstatus PPPK tidak kunjung menerima gaji. Lantas bagaimana nasib guru-guru honorer yang belum lulus PPPK.
Menurut Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) hingga kini masih ada sebagian guru honorer yang belum memiliki SK Kepala Daerah. Semenjak diberlakukannya PP No. 48/2005, kepala daerah memang tidak memiliki wewenang mengangkat tenaga honorer termasuk guru. Alhasil meskipun sekolah kekurangan guru, dan pemerintah pun memberikan wewenang mengangkat guru namun mereka tidak memiliki SK dari Kepala Daerah.
Padahal keberadaan SK Kepala Daerah menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Dengan memiliki NUPTK, mereka bisa menerima gaji dari 50% dana BOS. Kebijakan nan menjanjikan ini, ditetapkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim pada Februari lalu. Penggunaan dana 50% BOS ini diatur dalam Peraturan Mendikbud No.8/2020.
“Kami mohon agar pemerintah bisa memberikan honor dari dana BOS bagi guru-guru honorer yang hanya punya SK kepala sekolah dan belum kantongi NUPTK,” ujar Ketum PB PGRI Unifah (8/4/2020).
Nasib guru honorer sebelum masa darurat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sudah terpinggirkan. Apalagi dengan datangnya musibah wabah penyakit menular ini, hidup mereka kian memperihatinkan. Dalam hari-hari biasa mereka setiap bulan hanya menerima gaji Rp 100.000,00 yang dibayar setiap tiga bulan sekali.
Termasuk Warga Terdampak COVID-19
Masalah ini membuat sejumlah pihak prihatin, misalnya di Jombang dan Bandung para guru honorer dimasukan dalam golongan warga terdampak corona. Mereka para guru honorer pun berhak memperoleh bantuan sosial dari pemerintah sebagaimana warga biasa yang terdampak sosial ekonomi pandemi Covid-19.
Usulan ini disampaikan oleh Anggota DPR RI dari Dapil Jombang, Ema Umiyyatul Chusnah. Dia mengusulkan kepada Pemkab Jombang memperhatikan nasib guru honorer di wilayah tersebut. Mengingat nasib guru honorer selam ini pun jauh dari kata sejahtera.
“Masih ada yang menerima (honor) 100 (Ribu Rupiah), 150 (Ribu Rupiah), secara logika, dia mempunyai keluarga, mempunyai anak, ya nggak cukup itungannya. Apalagi, sekarang ada Covid-19 ini, berarti sangat terdampak, dan harus kita bantu,” kata Ema (9/4/2020).
Kondisi ini membuat Djasepudin, seorang guru honorer di SMA Negeri 1 Cibinong bersuara. Menurutnya wabah Covid-19 sungguh membuat sulit semua pihak tidak terkecuali bagi dirinya dan teman-temannya sesama guru honorer. Guru honorer merupakan pelaku lapangan kegiatan belajar online. Namun sejak sistem itu berjalan, tidak ada anggaran yang diberikan khusus untuk pembelian kuota internet.
Djasepudin dan teman-temannya harus dengan rela hati mengetatkan ikat pinggang demi bisa menjalankan tugas professionalnya sebagai guru. Meskipun mereka harus tersenyum getir karena pada saat yang sama mereka juga harus sanggup memenuhi kebutuhan keluarga.
Dengan minimnya anggaran bagaimana mungkin para guru honorer mampu mengembangkan diri sehingga mampu menunjang kegiatan belajar online jika semuanya bermodal dari kantong pribadi.
“Okelah, para guru honorer bisa mencari tambahan dengan menjadi ojek daring, berjualan gorengan atau les privat. Namun itu belum menjadi jawaban tepat atas permasalahan hidup mereka. Bukan melulu ihwal profesionalisme, namun perkara keadilan dan kepatutan perlakuan,” ungkap Djasepudin (6/4/2020).
Negara Tak Mampu Membayar
Sekedar informasi para guru honorer belum lama ini memperjuangkan nasib mereka dengan melakukan Judicial Review UU No.5/2014 yaitu UU tentang ASN. Aksi judicial review yang dilakukan oleh perwakilan guru dari 13 Provinsi yaitu Riau, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Jambi, Aceh, Jambi, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kepulauan Riau, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Judicial Review yang diajukan pada Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 Januari 2020 ini akhirnya dikabulkan dengan disahkannya RUU revisi UU ASN pada 2 April 2020 lalu. Namun RUU revisi UU ASN ini justru ditanggapi dingin oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Bima Haria Wibisama.
Pasalnya Pasal 131A RUU Revisi UU ASN ayat 1 menyebutkan bahwa tenaga honorer yang diangkat dengan SK 15 Januari 2014 wajib diangkat sebagai PNS. Karena jika semua honorer diangkat beban negara menjadi sangat berat. Untuk saat ini saja pihaknya justru mengurangi jumlah PNS khususnya dari tenaga administrasi, kalau ada yang pensiun formasinya tidak diisi lagi.
“Berat juga kalau semua honorer minta diangkat menjadi PNS. Mau dibayar pakai apa mereka karena jumlah mereka ada jutaan orang,” terang Bima (4/4/2020).
Tidak Pro Guru Honorer
Pada akhir Maret lalu, Pengamat Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengkritik kebijakan pemerintah dalam hal ini Kemendikbud. Seperti diketahui Kemendikbud bahkan telah merealokasi anggaran untuk menanggulangi COVID-19.
Realokasi anggaran Kemendikbud sebesar Rp 405 miliar tersebut bahkan hanya digunakan untuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas rumah sakit pendidikan tanpa memperhatikan nasib para guru honorer.
“Rezim ini sejak awal tidak begitu pro pada guru honorer. Saya masih ingat betul ketika ribuan guru honorer demonstrasi di depan Istana dicuekin,” jelas Ubed (27/3/2020).
Ubed menilai kebijakan yang diambil oleh pemerintah itu tanpa menggunakan kalkulasi yang matang. Dia pun mengingatkan peran guru sangat sentral dalam pelaksanaan program belajar, khususnya untuk situasi belajar online saat ini.
“Mereka lupa bahwa proses belajar di sekolah saat ini akan pincang jika tidak ada guru honorer,” tandas Ubed yang juga Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPEL).
Penulis: Kukuh Subekti / Editor: Tori Nuariza