IslamToday ID –Pandemi corona telah meluas ke berbagai negara. Hampir 3 juta orang terinfeksi. Selain itu, akibat corona menyebabkan krisis ekonomi menghantui dunia. Beragam prediksi bermunculan, menerka kapan pandemic virus corona (covid-19) berakhir.
Bukan hanya para ilmuwan, ada pula da’i yang menyitir hadis dan mengatakan bahwa wabah akan diangkat berkahir saat terbit Bintang Tsurraya. Sebagian berpendapat, bahwa hadist tentang Bintang Tsurraya berlaku adalah berkenaan tentang penyakit pada tumbuh-tumbuhan, sehingga menjadi etika umat muslim dalam jual beli.
Utsman bin Abdullah bin Suraqah bertanya kepada Ibnu Umar tentang penjualan buah yang berpenyakit, maka dia berkata: “Rasulullah melarang penjualan buah-buahan sehingga hilang penyakit (‘ahah)-nya. Saya bertanya, “Kapan itu?” Rasulullah berkata, “Sampai terbitnya bintang Tsurayya.”
Tsurayya adalah nama Arab untuk gugusan bintang Pleiades. Jika Pleiades adalah nama lain Tsurayya dalam mitologi Yunani, di Persia dikenal sebagai Sorayya, di Babilonia sebagai Mul-mul, di India dengan nama Krittika, di Cina sebagai Mao, di Jepang disebut Subaru, maka di Indonesia di antaranya dengan nama Tujuh Bersaudari atau lintang Kartika. Bagi masyrakat nusantara gugus bintang ini menjadi penanda pergantian musim sekaligus menjadi pedoman untuk menentukan massa tanam.
Ilmu Falak
Terlepas dari prokontra pemaknaan hadist dan konteksnya terhadap pandemic covid-19, perbincangan tentang bintang tsurrayya mengantarkan kita pada khasanah keilmuan Islam yang mungkin sudah jarang ditekuni. Tidak lain adalah Ilmu Falak.
Falak secara etimologi berarti orbit atau lintasan benda-benda langit. Ilmu Falak adalah ilmu yang mempelajari lintasan benda-benda langit-khususnya bumi, bulan, dan matahari-pada orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk diketahui posisi benda langit antara satu dengan lainnya, agar dapat diketahui waktu-waktu di permukaan bumi.
Berbeda dengan ilmu nujum yang menghitung kejadian alam dengan dikaitkan pada benda-benda langit, ilmu falak merupakan perhitungan benda langit dengan hitungan pasti.
Maka ada yang menyebut akrab menyebutnya sebagai ilmu hisab, karena ilmu ini menggunakan perhitungan. Ada pula yang menyebutnya ilmu rashd, karena ilmu ini memerlukan pengamatan Ada juga yang menyebut ilmu falak sebagai juga ilmu haiah, karena ilmu ini mempelajari keadaan benda-benda langit
Selain itu,lmu Falak disebut sebagai ilmu miqat, karena ilmu ini mempelajari tentang batas-batas waktu. Penenggalan merupakan salah satu karya yang dihasilkan dari ilmu falaq. Mengetahui arah kiblat yang menjadi poros berdirinya sholat, juga didasarkan ilmu falaq.
Ilmu ini tergolong ilmu yang ‘berat’. Butuh akal yang ‘tajam dan ketekunan untuk mempelajarinya. Bahkan santri rajin dan memiliki kecerdasan diatas rata-rata butuh waktu 6 sampai 8 tahun untuk mempelajarinya. Itu pun baru sebatas faham, belum pada level memahami.
Sebagai gambaran, biasanya dari 300 Santri yang mengikuti pelajaran Ilmu Falaq, rata-rata tidak lebih dari 20 orang yang sanggup bertahan hingga khatam.
Penanggalan dan Dakwah Islam
Kesadaran akan pentingnya ilmu falak dan nilai-nilai islam, membuat Saat Sultan Agung Hanyokrokusumo secara resmi menerapkan sistem baru yang diserap dari sistem penanggalan Islam (Hijriyah).
Muhammad Sidiq HM, Peneliti Sultanate Institute mengatakan, perubahan kalender Jawa itu terjadi dan dimulai pada tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, tepat pada tanggal Jum’at Legi, 1 Muharram tahun 1043 Hijriyah, tepat pula dengan 8 Juli 1633 M.
Bama-nama bulan diambi dari nama-nama bulandalam penanggalan Hijriyah. Antara lain: Sura (Muharrom), Sapar (Shofar), Mulud (Robiul awal), Bakda Mulud (Robiul tsani), Jumadilawal (jumadil awal), Jumadilakhir (jumadil akhir), Rejeb (Rojab), Ruwah (sya’ban), Pasa (ramadlon), Sawal (syawwal), Dulkangidah/Apit (dzulqaidah), Besar (dzulhijjah).
Penamaan ini lebih menyesuaikan dengan peristiwa-peristiwa sejarah pada bulan-bulan dimaksud, sebagai upaya membumikan kalender Jawa Islam dalam konteks sosial masyarakat Jawa yang Islami.
Nama hari juga diganti penyebutannya, Radite menjadi Ahad/Ngad (wahid), Soma menjadi Senen (isnain), Anggoro menjadi Selasa (Tsalasa), Buda menjadi Rebo (Arba’ah/Rabi’), Respati diganti Kemis (Khomis), Sukra diganti Jum’at (jum’ah) dan Tumpak berubah menjadi Sebtu (Sab’atun).
“Perubahan kalender Jawa ini pada masanya telah mendapatkan dukungan dari kalangan ulama. Kebijakan ini dinilai sangat membantu masyarakat Jawa dalam mendekatkan pemahaman mereka terhadap ajaran-ajaran Islam, dimana berbagai peribadatan sangat berkaitan erat dengan waktu-waktu yang telah ditentukan,” ujarnya
Sebagai contoh, Syuro yang dijadikan ganti dari Muharrom karena terkandung maksud bahwa pada tanggal 10 merupakan hari asyuro. Begitu juga dengan Mulud, sebagai upaya memperingati di mana Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada tanggal 12 Robiul awaal atau yang sering disebut dengan istilah Maulud Nabi.
Ruwah menggantikan Sya’ban, dimaksudkan sebagai bulan turunnya para ruh atau pembebasan para ruh dipadang mahsyar. Pasa terambil dari bulan Ramadhan arena umat muslim pada bulan tersebut wajib menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Besar menggantikan bulan Dzulhijjah, dimaksudkan pada bulan ini umat Islam memiliki upacara peribadatan dalam skala besar yaitu ibadah haji dan pelaksanaan kurban.
Penulis: Arief Setiyanto