IslamToday ID — Gema takbir terus terdengar dari Masjid Al-Barokah, Dusun Ngesong, Desa Kamal, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Sesekali, terselip pengumuman agar warga bergegas menuju masjid, untuk menunaikan Sholat Ied, Ahad (24/5/2020).
Sejak pukul 6 pagi, warga mulai berdatangan. jamaah disambut deretan pemuda yang berjajar rapi diruas gang samping masjid. Berbekal handsanitizer dan beberapa lembar masker, mereka memastikan jamaah ‘aman’ untuk memasuki area masjid.
Setiap yang datang tangannya disemprot agar steril dari kuman dan ‘ancaman’ virus. jika ada yang belum mengenakan masker, akan diberikan dengan cuma-cuma.
Tepat sekitar pukul 06.30 WIB, sekitar 100 orang jamaah masjid di punggung bukit itu menunaikan sholat Ied dengan penuh kesederhanaan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, seluruh dusun di Desa Kamal berkumpul di lapangan. Sholat Ied pun diikuti ratusan orang, bahkan muncapai seribu jemaah. Tiap jemaah berbondong-bondong dengan sanak keluarga yang pulang dari perantauan. Mobil-mobil berderet memenuhi ruas jalan di sekitar lapangan.
Idul Fitri 1441 hijriyah jauh dari hingar bingar itu. Tak ada derertan mobil, hanya segelintir motor saja yang terparkir. Tiap masjid dan mushola menggelar sholat Ied sendiri-sendiri.
Di masjid Al Barokah, Dusun Ngesong, sholat Ied hanya diikuti puluhan orang. Tikar yang digelar di halaman masjid juga hanya beberapa lembar, untuk alas jemaah puteri.
Imam dan khatibnya, yang memimpin sholat Ied juga warga setempat. Khutbah yang disampaikan dengan singkat, namun menyentuh hati tiap jamaah.
Khatib menukil sabda nabi, bahwa sutau hari nabi duduk bersama para sahabat, tiba-tiba nabi mengucap amin hingga tiga kali. Para sahabat yang duduk bersama nabi, bingung mengapa nabi mengucap amin hingga tiga kali. Kemudian sahabat bertanya, mengapa nabi mengucap amin hingga tiga kali.
“Rasulullah menjawab, bahwa malaikat Jibril datang dan berdoa agar Allah tidak menerima puasanya. anak yang tidak berbakti pada orang tuanya, istri yang durhaka pada suaminya, dan orang tua yang tidak mengasihi anaknya. Kemudian Nabi mengaminkannya,” ujar Mas Sutiyono dalam khutbahnya, Ahad (24/5).
Pesan dalam dalam hadist yang dikutip itu membuat haru. Sebab sebagian besar sanak keluarga masyarakat desa kamal adalah perantau, lebaran juga momentum mengobati dahaga kerinduan terhadap anak terhadap orang tua, begitu pula sebaliknya.
Namun, pandemi COVID-19 menjadi jurang pemisah yang cukup dalam. Nyaris tak ada perantau yang pulang kampung. Tradisi sungkeman tampaknya juga luntur oleh himbauan pemerintah untuk menjaga jarak.
Lebaran kali ini begitu sepi tanpa tradisi ujung atau silaturahmi antar warga. Sungkeman hanya dilakukan dilakukan dengen keluarga inti atau tetangga yang memiliki ikatan perkawinan. Padahal biasanya, sungkeman menjadi momentum meraup do’a dan restu dari para orang tua. Menjadi suluh pemompa semangat untuk menghadapi tantangan satu tahun ke depan.
Khatib juga mengingatkan agar warga membiasakan mengenakan masker dan menjaga jarak aman saat beraktifitas dan berkomunikasi. Selain itu, membiasakan hidup bersih dengen membiasakan cuci tangan dengan sabun.
Begitu juga yang tampak saat prosesi shalat Ied di lapangan perumahan Nila Graha, Desa Gonilan, Kabupaten Sukoharjo, Ahad (24/5) pagi. Selain gema takbir yang berkumandang, sayup-sayup kesibukan panitia menghimbau jamaah untuk menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga jarak, mengenakan masker, membawa sajadah sendiri, dan mencuci tangan atau memakai hand sanitizer.
Seruan aksi solidaritas dan kepedulian sosial juga digaungkan panitia Ied dan takmir masjid setempat. Selama Pandemi COVID-19 melanda setiap pekannya untuk mengganti program Jumat Barokah, Masjid dan Jamaah membagi minimal 50 paket sembako.
Perayaan Ied di Nilagraha kali ini tampak lebih lenggang, karena jamaah terbatas hanya khusus warga perumahan. Perolehan Infaq pun menurun hanya meraih sekitar 45-50 % dari Ied biasanya.
Hikmah
Kisah Idul Fitri di Dusun Ngesong, hanya secuil dari potret perayaan Idul Fitri 1441 ditengah pandemi yang dialami seluruh wilayah Indonesia. Namun, secuil kisah diatas, menunjukan satu episode baru ‘hidup normal’, paling tidak beradaptasi dengan wabah.
Protokol kesehatan, telah menjadi kebiasaan yang melekat hingga ke jantung negeri ini, masyarakat di kampung-kampung. Mereka telah berikhtiar menjaga kesehatan dan mencegah penyebaran virus dengan penuh kepatuhan dan konsistensi.
Di sisi lain, sholat Ied yang digelar di masjid masing-masing dukuh, sebenarnya mengingatkan kita akan terhadap posisi masjid sebagai jantung ketahanan negeri yang paling lekat dengan masyarakat.
Masjid menjadi sarana yang strategis dalam membina masyarakat. Masjid juga menjadi sarana efektif untuk mensosialisasikan kebijakan pemerintah secara massif dan terukur dampaknya.
Itulah mengapa Kesultanan aceh Darussalam secara khusus mengatur masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah, melainkan berkaitan dengan kepemimpinan dan pendidikan ummat.
Masjid tidak didirikan asal-asalan. Masjid didirikan di tiap tiap kemukiman. Keberadaan Mukim memiliki dasar yang kuat baik untuk pengaturan kehidupan sosial dan beragama. Salah satunya, ialah pelaksanaan kewajiban mendirikan shalat Jum’at yang Mazhab diperlukan kehadiran paling tidak 40 orang laki-laki yang telah dewasa.
Mulanya pemimpin dari sebuah mukim adalah seorang imeum (Imam).
Ia mengemban tugas sepenuhnya atau sebagian bersifat keagamaan dengan mengusahakan agar tegaknya hukom (syariat) dan terlaksananya kewajiban ibadah.
“Oleh karena itu, mukim yang terbentuk dengan sebagai pusat kehidupan sosial dan agama,” ujar H. Taqwaddin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Penulis: Arief Setiyanto, Tori Nuariza
Editor: Tori Nuariza