IslamToday ID — Target luas lahan tebu di Indonesia diperkirakan akan mencapai 735 ribu hektar pada tahun 2029. Namun, ‘politik gula’ pemerintah justru bertolak belakang. Kran impor dibuka lebar. Gula luar negeri bagai membanjiri ladang tebu Indonesia.
Derasnya Gula Impor
Dari data BPS, sejak tahun impor gula 2015 mencapai 3,4 juta ton, tahun 2016 naik menjadi 4,7 juta ton, kemudian di tahun 2017 turun menjadi 4,5 juta ton dan di tahun 2018 naik menjadi 4,6 juta ton. Sementara untuk tahun 2019 lalu, pemerintah mengalokasikan impor gula hingga 2,8 juta ton, turun dari aloksi impor tahun 2018 yang mencapai 3,6 juta ton.
April 2020, Indonesia telah mengimpor gula sebanyak 684ribu ton. Nilainya mencapai US$ 238 juta. Pada Maret lalu, Indonesia telah mengimpor gula sebanyak 642ribu ton yang nilainya US$230 juta. Sehingga total gula impor yang masuk selama dua bulan tersebut adalah 1.326 ribu ton.
Data impor gula bulan April tersebut jika dibandingkan pada bulan yang sama di tahun 2019 telah mengalami kenaikan bahkan hampir dua kali lipat. Tahun 2019, di bulan April jumlah impor gula yang dilakukan oleh pemerintah adalah 387ribu ton dengan harga US$135 juta.
Adapun negara asal impor gula Indonesia pada tahun 2020 ini berasal dari Thailand yang nilainya mencapai 350ribu ton (US$121 juta), Australia 177ribu ton (US$62 juta), Brasil 100 ribu ton (US$34 juta), sementara dari India jumlah impor gulanya mencapai 56ribu ton gula.
Adapun rencana impor tahun 2020 yang telah ditetapkan oleh Kemendag melalui Surat Persetujuan Impor (SPI) gula Kristal rafinasi adalah sebanyak 3 juta ton gula. Kebijakan ini berlaku sejak bulan Maret 2020, dan kuota impor tersebut dibagi menjadi dua untuk setiap semesternya, masing-masing 1,5 juta ton gula.
Mimpi Swasembada Gula
Kementerian Pertanian sebenarnya cukup visioner dengan menargetkan perluasan lahan perkebunan tebu hingga 735 ribu hektar hingga tahun 2029. Dengan luas tersebut Indonesia diperkirakan bakal mengalami swasembada gula. Produksi gula diperkirakan akan mencapai 5,9 juta ton per tahun. Sedangkan kebutuhan gula dalam negeri hanya 5,8 juta ton per tahun.
“Kita mau memperluas plasma seluas-luasnya di luar Jawa karena kalau memperluas di Jawa kan agak sulit, bukan berarti kalau di Jawa tidak boleh,” ujar Direktur Jenderal Perkebunan Kementan, Kasdi Subagyono dilansir dari Bisnis Indonesia, Selasa (25/5/2020).
Rencana perluasan perkebunan tebu ini akan banyak difokuskan untuk area luar Jawa. Bahkan Kementan mengklaim perluasan perkebunan tebu di luar Jawa yang dilaksanakan oleh pemerintah sudah berlangsung sejak tahun 2014 lalu.
Ia menambahkan luas lahan tebu di luar Jawa jumlahnya mencapai 201.178 hektar pada tahun 2019, dari sebelumnya 169.536 hektar di tahun 2012-2013. Dalam periode waktu yang sama luas lahan tebu di Pulau Jawa justru mengalami penyusutan dari semula 287ribu hektar menjadi 251.020 hektar.
Ironisnya, sejak tahun 2014 luas lahan tebu di Indonesia justru terus mengalami penurunan. Peneliti Agro Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), Agus Pakpahan, mengatakan di tahun 2014, luas lahan perkebunan tebu masih berada di angka 478.108 hektare (ha). Namun pada 2017, lahan tebu tersisa 453.456 ha. Ada penurunan luas areal lahan hingga 24.652 ha. Selain itu dalam tiga tahun terakhir penyusutan lahan juga dikarenakan alih fungsi untuk pembangunan perumahan dan kepentingan lainnya.
Petani tebu semakin tidak bergairah karena anjloknya harga setiap kali panen. Agus menilai perlu ada jaminan harga yang sesuai sehingga petani tidak merugi. Sebab, hal ini juga menjadi pemicu lainnya mengapa lahan tebu semakin terkikis.
“Mau pabrik gula baru pun, kalau tidak bisa merangsang petani tidak akan berkembang pohon tebu. Jadi secara umum sekarang kekurangan bahan baku karena terjadi penurunan luas area tanam,” pungkas Agus.
Ekonom Indef, Bhima Yudisthira mengungkapkan, pemerintah selalu beralasan bahwa, kebijakan impor gula ini dilakukan untuk memenuhi kuota kebutuhan gula. Tujuannya untuk menurunkan harga gula di pasaran.
Faktanya, kegiatan impor gula justru hanya memberikan keuntungan bagi para pemburu rente. Sementara para petani gula akan semakin tertekan. Akibatnya tidak sedikit para petani yang beralih menanam komoditas lain. Akhirnya jumlah lahan tebu terus mengalami penyusutan.
Saat ini kebutuhan gula konsumsi rumah tangga yang ditaksir mencapai 2,8 juta ton, sedangkan produksi gula nasional ditaksir hanya 2,2 juta ton. Dengan dalih tersebut pemerintah tetap melegalkan kegiatan impor gula. Seharusnya, pemerintah membenahi sistem distribusi yang lebih efisien, agar petani bisa turut merasakan keuntungan.
“Ini kasus komoditas kita karena rantai pasokan domestik terlalu panjang, lebih dari empat lah distributor dari petani sampe ke pasar. Masing-masing tadi memainkan harga. Karena di level petani info soal harga tidak dikuasai sepenuhnya,”ujarnya.
Bhima juga menyoroti kasus gula rafinasi yang selama ini digunakan untuk kebutuhan industri yang menurut dia bisa saja mengalami kebocoran dan menambah stok gula konsumsi di masyarakat. Ia pun menekankan terkait persoalan data serta pentingnya pengawasan dalam kebijakan impor gula.
“Saya lihat gula produk yang inelastis. Jadi artinya impor gula konsumsi dibuka belum tentu harga turun. Pertama, karena struktur pasar oligopoli, kedua gula dari rafinasi (pabrik) bocor duluan. Selama ini kan pengawasan di situ yang lemah. Apalagi diimpor gula konsumsi. Padahal di luar negeri setahu saya gula cuma satu. Masuk Indonesia ‘dikotor-kotorkan’ rafinasinya biar jadi gula konsumsi” pungkas Bhima (18/2/2020).
Penulis Kukuh subekti
Editor: Arief setiyanto