lslamToday ID — Target tes untuk deteksi penularan corona virus COVID-19, meleset dari target. Padahal deteksi penularan COVID-19 berpacu dengan waktu, terlebih muncul dugaan adanya ‘orang tanpa gejala’ atau yang dikenal dengan istilah ‘OTG’.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menargetkan agar dilakukan 10 ribu tes per hari untuk memetakan sekaligus menekan sebaran penularan covid-19. Target ini disampaikan Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas Kabinet 13 April 2020. Namun, hingga Jum’at 22 Mei 2020 jumlah spesimen yang berhasil di tes hanya mencapai 9.359.
Seperti laporan detikcom (22/5), sebanyak 9.082 jumlah spesimen didapatkan dari dengen menggunakan tes Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Sedangkan sisanya, sebanyak 277 spesimen didapat dari tes cepat molekuler (TCM).
Setidaknya di Idonesia ada 69 laboratorium RT-PCR dan 35 laboratorium TCM. Masing-masing dilengkapi dengan laboratorium jejaring, yang terdiri dari 94 lab RT-PCR dan 51 lab RCM.
Sementara itu, laporan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menunjukan data yang bertolak belakang. Jumlah tes yang dilakukan oleh pemerintah setiap hanya 3.600 per/hari. Jumlah ini jauh dibandingkan klaim pemerintah yang mencapai angka 9.359 tes per hari.
Direktur Eksekutif International INFID, Sugeng Bahagijo menilai perlu ada evaluasi kinerja pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pelaksanaan tes massal di tengah situasi pandemi covid-19 . Kemenkes seharusnya bersikap terbuka, terkait hambatan dan kendala terkait rendahnya perolehan tes massal.
“Presiden perlu mendorong peningkatan kinerja dan akuntabilitas Kemenkes. Sumbatan dan kendala manajemen, kelembagaan dan tata kelola harus segera ditemukan dan diatasi,” seperti dilansir Bisnis Indonesia, Senin (25/5/2020).
INFID menyarankan Kemenkes selaku dewan pengarah Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, agar mengevaluasi kinerja, pelayanan, dan kelembagaan (Fits for Purpose). Selain itu perlu adanya jaminan keterbukaan data dan informasi termasuk data-data korban Covid-19. Transpransi dan akuntabilitas terkait ketersediaan dan penggunaan anggaran juga harus dijamin. .
Sugeng menambahkan, Kemenkes harus melanjutkan kebijakan tes massal di sepuluh kota besar di Indonesia, dengan capaian yang sama, 10 ribu tes per hari. Di samping itu, Kemenkes dan BPJS juga harus menjamin ketersediaan obat bagi para pasien.
Sumbatan
Sebelumnya, pada pertengahan Mei lalu, Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto menyampaikan adanya kelangkaan cairan reagen. Cairan ini digunakan untuk mengetahui reaksi kimia dalam mendeteksi infeksi Covid-19, khusunya dalam metode tes Polymerase Chain Reaction (PCR). Selain itu, Yuri juga mengatakan jumlah laboratorium menjadi pelaksanaan tes massal terbatas.
Pemerintah baru menunjuk 71 laboratorium untuk melakukan pemeriksaan sampel. Sebagian besar laboratorium yang dijadikan tempat rujukan pemeriksaan itu berada di Jawa. Padahal, kaus covid-19 telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia.
Hal inilah yang menjadi hambatan bagi pemeriksaan sampel luar Jawa, karena membutuhkan waktu yang lebih lama. Kondisi ini memaksa rumah sakit di wilayah Indonesia bagian timur harus memeriksakan sampel di Kota Makassar, Surabaya dan Jakarta. Jauhnya jarak yang harus ditempuh berimbas pada waktu pemeriksaan dan lamanya waktu untuk mengetahui hasilnya.
“Kondisi ini karena masalah sebaran di Indonesia, bukan hanya di Jakarta,” ujar Yurianto (14/5/2020).
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Netty Prasetiyani turut menagih janji Presiden Jokowi untuk melalaksanakan tes massal. Ketua Tim Covid-19 DPR ini menagih taget 10 ribu tes perhari yang telah disampaikan Presiden.
Menurut Netty, seharusnya tes massal bisa segera dikebut, karena pemerintah sudah memiliki alat-alatnya yang dibutuhkan, bahkan mendatangkan alat dari luar negeri.
“Tes Covid negara kita sangat rendah, bahkan jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Rasio tes Covid-19 kita sangat rendah, padahal tes ini menjadi salah satu indikator dalam kurva epidemi terkait dengan kasus baru,” kata Netty (16/5/2020).
Mewaspadai OTG
Pelaksanaan tes massal Corona seperti berpacu dengan waktu. Sebab tidak jarang terjadi kenaikan jumlah pasien positif corona lantaran adanya orang tanpa gejala (OTG). Oleh karena itu, tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 meminta masyarakat waspada dalam berinteraksi. Sebab, orang yang masuk kategori OTG tidak tahu bahwa dirinya telah terinfeksi, sementara mobilitas sosialnya tetap tinggi.
“Orang [tanpa gejala] inilah yang kemudian memiliki peluang paling besar untuk kemudian menularkan penyakit ini ke orang lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui percikan-percikan droplet dia di sekitarnya,” terang Yuri (24/5/2020).
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menjelaskan, OTG pada umumnya adalah mereka yang berasal dari kelompok usia muda. Mereka merupakan kelompok yang sehat dan memiliki imunitas yang baik, bahkan tidak memiliki riwayat penyakit bawaan.
Namun tidak menutup kemungkinan mereka telah menjadi carrier (pembawa). <aka dari itu, untuk meminimalisir protokol kesehatan seperti menggunakan masker, rajin cuci tangan, dan jaga jarak harus tetap dilakukan, meskipun berhadapan dengan mereka yang tidak menunjukan gejala sakit.
“Apabila [kelompok muda] terinfeksi virus ini, [mereka] tidak menunjukkan gejala yang signifikan, bahkan tanpa menunjukkan gejala apapun. Namun di dalam saluran nafasnya sudah banyak didapatkan virus,” imbuhnya.
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza