IslamToday ID — Sebanyak 94 warga Rohingya terombang-ambing di Laut di dekat wilayah Aceh. Kemudia, rakyat Aceh Utara, secara suka rela tergerak menyelamatkan mereka dari kondisi yang memprihatinkan. Pengungsi Rohingya ditemukan dalam kondisi kelaparan, kehausan serta berada di perahu yang nyaris tenggelam.
Keadaan ini mengundang Yayasan Darud Donya, sebuah lembaga yang bergiat melestarikan sejarah prihatin, turut bersuara mendesak dunia internasional untuk memperhatikan masalah ini secara serius. Jika hal ini didiamkan terus-menerus, dikhawatirkan akan menjadi sejarah kelam kemanusiaan bahkan hingga ratusan tahun mendatang.
Pertalian Sejarah Aceh-Rohingya
Bagi Darod Donya keberadaan warga Rohingya merupakan salah satu bagian penting dari perjalanan umat Islam khususnya bagi rakyat Aceh. Rakyat Rohingya di masa lalu memiliki Kerajaan Arakan, sebuah kerajaan Islam yang terletak di Myanmar.
Bahkan, kerajaan tersebut memiliki hubungan akrab dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Keduanya terlihat aktif dalam hubungan dagang, karena banyak kapal dari Arakan yang datang ke Aceh.
Namun kejayaan Kerajaan Arakan kini banyak dilupakan orang, sebab setelah kerajaan itu berhasil dikalahkan, banyak situs sejarah Kerajaan Arakan dihancurkan. Setelah jati diri mereka dihilangkan, mereka kini hidup sebagai bangsa tanpa negeri. Oleh karena itu, Darod Donya menyerukan kepada negara-negara muslim di dunia untuk bahu-membahu menyelamatkan warga Rohingya.
Darod Donya kembali mengingatkan tentang hasil konvensi dunia ke-18 The Malay and Islamic World Organisation/Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) yang dihadiri oleh 22 negara rumpun melayu sedunia, telah menghasilkan salah satu resolusi dunia yaitu: “Menyelamatkan sejarah-sejarah Islam di negara-negara Islam, salah satunya di Palestina, Rohingya, dan Aceh”.
“Kaum Rohingya adalah saudara kita, apalagi mereka adalah saudara muslim kita yang teraniaya. Bagaimanapun, kemanusiaan adalah diatas segalanya. Apabila kita tidak menolong, maka malu lah kita dihadapan Allah,” kata Ketua Darud Donya, Cut Putri seperti dikutip dari lintasatjeh.com (27/6/20).
Cut Putri sempat menyampaikan permohonan bantuan kepada pemerintah Turki dan juga PBB melalui lembaganya UNHCR. Ia meminta Turki dan UNHCR bisa membantu Aceh dalam menangani krisis yang dialamai oleh warga Rohingya.
Selain itu, ia meminta agar ke depan Aceh dilibatkan langsung dalam penyelesaian konflik di kawasan Myanmar, karena Aceh juga terdampak langsung dengan banyaknya Pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh.
Menurut penuturan Cut Putri, rakyat Aceh sudah terbiasa dalam membantu orang-orang yang tenggelam atau karam di perairannya tanpa peduli asal-usulnya. Dalam catatan sejarah Aceh, aksi kepedulian mereka sudah ada sejak masa Kerajaan Samudra Pasai. Peristiwa tersebut ialah tenggelamnya kapal milik bangsawan Mani Purindam.
Mereka adalah nenek moyang dari Tun Sri Lanang yang kapalnya tenggelam di kawasan Samudera Pasai. Raja dan rakyat secara bergotong-royong memberikan bantuan bahkan mereka memberikan bekal yang cukup kepada para korban tenggelamnya Mani Purindam untuk kembali melanjutkan perjalanan ke Malaka.
Dan kini mereka kembali melakukan misi penyelamatan. Misi kemanusiaan tersebut diberikan kepada 94 warga Rohingya yang terdampar di perairan Pantai Seunuddon, Kecamatan Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara pada Rabu (24/6).
“Itu tidak lebih dari rasa kemanusiaan dan bagian dari tradisi kami di Komunitas Nelayan Aceh Utara,” tutur nelayan lokal Aceh Utara, Hamdani Yacob (26/6/20).
Sementara nelayan yang lain, Syaiful Amri mengatakan jika pemerintah tidak sanggup biarkan ia dan teman-teman sesama nelayan lain yang menolong para pengungsi.
“Jika pemerintah tak mampu, kami masyarakat akan membantu mereka. Kami adalah manusia dan mereka juga manusia. Kami punya hati,” tutur Amir (26/6/20).
Solidaritas Kemanusiaan
Sementara itu, Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada warga Rohingya yang mengungsi di Aceh. Selain itu, pemerintah juga harus mendukung upaya rakyat Aceh dalam membantu para pengungsi. Upaya yang dilakukan oleh warga Aceh ialah bentuk upaya kemanusiaan yang menunjukan adanya rasa solidaritas kemanusiaan.
“Upaya ini seharusnya tak berhenti sampai di sini. Perlindungan resmi dan menyeluruh dari pemerintah pusat harus segera diberikan. Setelah perjalanan laut yang berbahaya dengan kondisi kelaparan, mereka membutuhkan tempat untuk berlindung,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid seperti dikutip dari Aceh Kini (26/6/20).
Usman Hamid juga berharap kepada pemerintah Indonesia bisa melakukan dialog regional untuk menyelamatkan pengungsi Rohingya yang lain yang kini masih ada di lautan. Komunitas regional juga harus segera mengakhiri penderitaan mereka dengan melakukan langkah-langkah yang diamanatkan oleh hukum internasional.
Melalui laman resminya Amnesty International Indonesia pada (25/6) mengingatkan tentang hukum kebiasaan internasional juga mengatur adanya prinsip non-refoulement, yang mengatur bahwa negara tidak boleh mengirim para pengungsi dan pencari suaka ke tempat di mana nyawa mereka terancam, termasuk mendorong kembali para pengungsi tersebut ke laut.
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Tori Nuariza