IslamToday ID –Kasus tewasnya warga negara Indonesia yang menjadi anak buah kapal (ABK) di kapal asing kembali terjadi. Kabar terbaru, seorang ABK asal Indonesia bernama Yadi tewas di kapal Lu Qian Yuan Yu 118. Ia tewas akibat sakit yang sebabkan perlakukan tidak maunusiawi dari kapten kapal.
Peristiwa ini terungkap dari laporan yang diterima Fisher Centre Bitung. Koordinator Fisher Centre Bitung, Laode Hardiani mengataka, pihaknya menerima laporan adanya ABK yang meninggal di kapal Lu Qian Yuan YU 118 pada 8 Juli 2020 kemarin. Dalam aduan itu ia pihaknya juga mendapat informasi jika ABK Indonesia mengalami kekerasan fisik. Selain itu mereka juga tidak mendapat jaminan pasokan makanan, bahkan ABK yang sakit tetap dipaksa untuk bekerja.
Tindakan tidak manusiawi itu dialami oleh Yadi. Ia bahkan sempat dianiaya oleh kapten kapal. Ia mendapat pukulan dantendangan tepat didadanya. Meskipun mengeluh kesakitan, Yadi tak kunjung diberi obat.
“Yadi tidak diberi makan, ketika kondisi sudah kritis baru diberi roti dan susu,” ujar Laode, Kamis (9/7/2020)
Namun, naas nyawa ABK asal Indonesia itu tidak tertolong. Yadi meninggal pada saat kapal melakukan operasi penangkapan cumi di perairan Argentina sekitar dua pekan lalu
Kabar tersebut akhrinya sampai telinga polisi dan TNI. Aparat gabungan yang terdiri dari TNI AL, Direktorat Polisi Perairan dan Udara serta Brimob Polda Kepulauan Riau dikerahkan saat dua kapal China masuk ke wilayah yuridiksi Indonesia. Polisi akhirnya berhasil menangkap dua kapal Lu Qian Yuan YU 117 dan 118. Pengejaran terhadap dua kapal berbendera China itu tergolong licin.
“Saat kami kejar, kapal Lu Huang Yuan Yu 117 sempat hampir lepas, namun berhasil digiring untuk memasuki wilayah perairan Indonesia,” kata Danlantamal IV Kolonel Laut (P) Indarto Budiarto, seperti dilaporkan tirto.id, 9 Juli 2020.
Kapolda Kepri, Irjen Pol Aris Budiman menyatakan, seperti yang pengalaman sudah-sudah, sebagian besar tenaga kerja Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing diperlakukan tidak manusiawi. Selain itu, dokumen ABK sering dipalsukan. Para ABK diduga menjadi korban perdagangan manusia.
“Kuat dugaan kami bahwa yang bekerja di kapal tersebut merupakan korban perdagangan manusia yang dipekerjakan secara paksa,” jelas Aris
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Sufuhan menyebut dalam kapal tersebut terdapat 12 orang ABK asal Indonesia. Mereka direkrut oleh tiga agen pemberangkatan yang berbeda, yakni PT MTB, PT DMI dan PT MJM.
ABK yang tewas di Kapal Lu Wian Yuan Yu 118 berasal dari agen Mandiri Tunggal Bahari (MTB) yang beralamat di Tegal, Jawa Tengah. MTB merupakan agen penyalur ABK yang tidak memiliki Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dari Kementerian Perhubungan dan Surat Izin Perusahan Penempatan Pekerja Migran dari Kementerian Tenaga Kerja.
“Berdasarkan catatan kami, sampai saat ini terdapat 27 orang ABK Indonesia yang menjadi korban dari PT MTB dengan status meninggal, hilang dan selamat,” jelas Abdi.
Saling Lempar Tanggungjawab
Eksploitasi dan kekerasan terhadap ABK Indonesia di kapal asing rawan terulang. PAasalnya, ABK Indonesia di kapal asing sering kali tidak dibekali dengan keterampilan yang dibutuhkan. Faktanya tidak semua ABK mengerti akan hal-hal teknis saat melaut, seperti menggunakan alat pancing, jaring dan yang lebih penting ketrampilan berbahasa asing.
“Kadang-kadang mereka salah mengerti (perintah bahasa asing). Itu yang mungkin membuat suasana kerja menjadi tegang hingga akhirnya terjadi konflik di atas kapal” jelas Abdi dikutip dari bbcindonesia.com (8/5/2020).
Setidaknya ada lima jalur pengiriman ABK. Yakni melalui Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, BNP2TIK, pemerintah daerah dan jalur mandiri melalui kerja sama bisnis.
Banyak pihak yang menjadi penyalur ABK di Indonesia inilah yang menurutnya akhirnya menyulitkan pihak KBRI dalam melakukan pengawasan. Selain itu data valid keberadaan ABK di kapal asing sulit untuk diketahui.
Menurut data Kementerian Perhubungan pada November 2016 di Indonesia hanya ada 72 perusahaan yang memiliki izin SIUPPAK dari Kemenhub. Dari jumlah tersebut yang paling banyak ialah agen ABK niaga bukan agen ABK untuk penangkapan ikan. Selain itu terkuak fakta bahwa sebanyak 40 agen panyalur ABK di Tegal dan Pemalang yang ternyata tidak memiliki izin SIUPPAK seperti yang disyaratkan oleh Kemenhub.
Menurut Abdi, pemerintah terkesan saling melempar tanggungjawab dalam perlindungan terhadap ABK. Misalnya, antara Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Kemenko Kemaritiman dan Investasi.
Kemenko Marinves menilai Kemenaker enggan meratifikasi konvensi internasional untuk perlindungan para ABK, termasuk Konvensi Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (K-188) yang disusun ILO.
“Bagaimana mau menekan negara lain terkait keselamatan ABK Indonesia kalau Indonesia sendiri tidak meratifikasi konvensi yang bisa memberikan perlindungan?” kata Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Basilio Dias Araujo.
Dias mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan negara paling banyak mengirim ABK ke kapal asing setelah Rusia dan China. Ia menyayangkan masih minimnya pelatihan dan sertifikasi yang diberikan kepada para ABK. Pelatihan dan sertifikasi menjadi penting sebab kapal penangkap ikan milik asing.
Penulis: Kukuh Subekti