IslamToday ID –Kabar duka datang dari Keraton Kasepuhan Cirebon. Sultan Sepuh XIV, Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat, meninggal dunia, Rabu (22/7) sekitar pukul 05.20 WIB. Kabar ini dibenarkan, Akbar, menantu Sultan Sepuh. Ia mengatakan bahwa Sultan Sepuh wafat saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Sentosa Bandung.
Informasi tersebut juja dibenarkan, Maskun, Lurah Kesultanan Kasepuhan. Sebelum beredarnya kabar duka itu, ia mendenar kabar jika kondisi Sultan Sepuh tengah kritis.
“Infonya karena kanker usus. Meninggalnya di rumah sakit,”ujarnya, Rabu (22/7/2020)
Rencananya, .Sultan Sepuh akan dimakamkan di pemakaman Astana Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. Lokasi tersebut merupakan kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati beserta keturunannya, termasuk para sultan dari Keraton Kasepuhan Cirebon. Sultan Sepuh rencananya akan dimakamkan siang ini.
Mengenang Kejayaan Cirebon
Kesultanan Cirebon eksis pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan cirebon ini merupakan salah satu pemerintahan Islam yang kuat di Jawa Barat. Kejayaan dan kuatnya pemerintahan Islam di Cirebon tidak datang tiba-tiba, melainkan dari proses panjang islamisasi. Proses Islamisasi itu tidak lepas dari peran Sunan Gunung Jati
Penobatan Sunan Gunung Jati sebagai penguasa kerajaan Cirebon terjadi pada tahun 1479 M. Penobatan dilakukan Sultan Fatah dari Kesultanan Demak yang didampingi oleh Panglima Perang Kesultanan Demak Fadhilah Khan. Penobatan Sunan Gunung Jati sebagai penguasa Kerajaan Islam Cirebon tidak lepas dari dukungan walisongo. Peristiwa ini mengawali babak baru Caruban Larang atau Cirebon menjadi poros kekuatan Islam di Jawa Barat.
Beragam strategi digulirkan Sunan Gunung Jati dalam islamisasi Cirebon, termasuk ekonomi dan politik. Alhasil, dalam waktu yang relatif singkat Islam dapat menyebar ke hampir keseluruh wilayah Jawa Barat.
Sebagai Penguasa Cirebon, Syarif Hidayatullah sangat memahami pentingya aliansi kesultanan Islam dalam memperkokoh Kesultanan Cirebon. Hal itu tampak dari strateginya di bidang ekonomi dan politik. Di bidang pemerintahan ia menata kembali struktur kekuasaan.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sunan Gunung Jati Sultan menempatkan ulama-ulama sebagai unsur pimpinan pemerintahan baik pusat maupun daerah. Sepertinya halnya negeri-negeri muslim di Nusantara, Syarif mengangat penguasa-penguasa wilayah sebagai kepanjangan tangan Sultan. Dalam Carita Purwaka Caruban penguasa wilayah itu lazim disebut Ki Gedeng. Sedangkan pimpinan tentara atau lasykar dipegang oleh para Adipati,
Sunan Gunung Jati juga memajukan sektor perekonomian, khususnya dalam bidang kemaritiman. Unang Sunarjo dalam Kerajaan Cirebon 1479 – 1809 menuturkan, di di bidang ekonomi Syarif Hidayatullah menekankan pentingnya perdagangan dengan negeri-negeri Islam di wilayah Nusantara, salah satunya Kesultanan Islam Demak. Ia juga mengembangkan hubungan perdagangan dengan negeri Campa, Malaka, Cina, India, dan Arab
Bahkan menurut De Graff, wilayah pelabuhan Cirebon saat berada dibawah kekuasaan Padjajaran terbilang masih sangat tertutup dan begitu dibatasi pergerakannya. Namun dibawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, pelabuhan-pelabuhan diperbaiki, dibuka untuk pedagang-pedagang dengan berbagai komuditas.
Akhirnya, Cirebon telah tumbuh sebagai kota yang ramai dikunjungi para saudagar-saudagar. Mereka memiliki opsi baru untuk menjual kooditas seperti kain, keramik maupun batu-batu mulia. Para pedagang juga bisa memenuhi logistik berupa beras maupun mendapatkan komuditas rempah-rempah. Sebab, saat itu Jawa Barat juga dikenal sebagai daerah penghasil beras dan lada.
Setelah Cirebon dibawah kekuasaan kesultanan Islam yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah atau Sayid Kamil, atau Syeikh Djati, atau Sunan Gunung Jati, maka Cirebon tumbuh menjadi pusat kekuatan politik Islam di Tatar Sunda. Selain sebagai simpul kekuatan Islam, Cirebon sekaligus sebagai pusat perdagangan yang menjadi lintasan perdagangan internasional.
Namun sayang, sepeninggal Syarif Sidayatullah kejayaan Cirebon memudar. Konflik dan perpecahan yang terjadi di internal kerajaan terjadi. Campur tangan VOC dalam konflik kerajaan juga semakin menyebabkan Cirebon mengalami kemunduran.
Penulis: Arief Setiyanto